Jumat, 04 November 2011

SBY Harus Belajar dari Si Super Sic

Kisah tragis tewasnya pembalap Italia Marco Simonceli di lintasan bukanlah kejadian pertama dalam MotoGP. Antara kejayaan dan kematian, sangat berbeda tipis, paling tidak itu yang kita tangkap dalam berbagai olah raga ekstrem seperti MotoGP. Mungkin ada banyak pihak yang terkejut hingga mata terbelalak melihat kejadian tesebut, bagaimana tidak, hanya sepersekian detik hidup si Super Sic berakhir dengan sangat tragis. Dahulu mungkin kita selalu jengkel dan kesal dengan ulahnya yang nekat dan terkesan ugal-ugalan sehingga membahayakan pembalap lainnya. Tapi kini berbeda, kita mencoba mendalami sosok si Super Sic kebelakang. Dari balik gayanya yang ‘urakan’ dan terkesan ‘semau gue’, kita belajar keberanian dalam mengambil tindakan dan tegas dalam bersikap. Selain itu, ada kegigihan dan pantang mundur dari medan laga meski beberapa kali jatuh dan kalah. Bukan popularitas dai tindakan yang tepat dan santai-santai saja, tapi popularitasnya dibangun justru dari karakternya yang nekat, pemberani dan pantang menyerah tersebut.
Dalam konteks Indonesia, keberanian Simonceli memberikan sebuah pencerahan betapa keberanian pada akhirnya membutuhkan pengorbanan, bukan untuk kesuksesan tapi untuk dedikasi. Keberanian mengambil sikap tegas dan tindakan, meskipun tak berbuah popularitas namun menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam kacamata prorakyat tentulah pada akhirnya akan menciptakan pencitraan tersendiri bagi rakyat terhadap pemerintah. Timbang sana-sini dan semakin banyak menimbang hingga tidak berimbang apa yang diputuskan menjadi salah satu indikasi betapa pemerintah Indonesia masih akan dan tetap berkonsentrasi pada pencitraan. Dari sekian banyak kebijakan yang telah digelontorkan ternyata hanya berujung pada ‘pembiaran’ struktural dimana kebijakan tersebut tidak lantas menyelesaikan permasalahan yang tengah rakyat hadapi. Alih-alih membela kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin sengara. Dan lagi-lagi reshuffle menjadi senjata pemerintah yang justru banyak rakyat yang tidak mau peduli lagi siapa menteri dan siapa presiden mereka karena bagi rakyat sama saja selama permasalahan mereka tidak terselesaikan.
Bahwa adalah benar jika pemerintah/organisasi publik adalah milik rakyat, karena kepada rakyatlah mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya bukan kepada Tuhan. Hudges (1992) mengatakan bahwa ”government organization are created by the public, for the public, and need to be accountable to it.” Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Bertumpu pada pendapat tersebut, pemimpin organisasi publik termasuk presiden diwajibkan berakuntabilitas atas kinerja yang dicapai organisasinya. Tujuan utama organisasi publik adalah memberikan pelayanan dan mencapai tingkat kepuasan masyarakat seoptimal mungkin. Maka yang menjadi main goal dalam pemerintahan adalah kesejahteraan rakyat, apa yang dilakukan semua dan demi rakyat. Ironisnya, justru bukan negarawan yang rakyat dapati tapi pemerintah partisan. Bukankah Jhon F. Kennedy pernah bergumam bahwa “my loyalty to my party ends when my loyalty to my country comes”, betapa kemudian dedikasi untuk negara dan rakyat bukan lagi kelompok partai apalagi mementingkan popularitas partainya.

Tindakan Esktrem
            Bagaimanapun, SBY harus coba belajar dari Marco Simonceli si Super Sic. Darinya SBY akan menemukan keberanian bersikap, berani menantang arus dan yang terpenting bukan popularitas yang dikejar tapi dedikasinya. Meski sering berbuah kritik pedas dan pendapat kontras, si Super Sic terus berpacu dengan adrenalinnya dengan cepat dan tanpa takut kalah. Nampaknya, sosok pemimpin itulah yang dirindukan oleh rakyat ini. pemimpin yang mampu membuat kebijakan ‘ekstrem’ yang prorakyat meski banyak kritikan pedas dan pendapat yang kontra. Thoha (2004) menyatakan bahwa suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh faktor kepemimpinan. Begitu pentingnya masalah kepemimpinan ini, menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus evaluasi mengenai penyebab keberhasilan atau kegagalan organisasi termasuk dalam pemerintahan.
            Maka pada akhirnya, SBY yang Super Sic kita harapkan keberadaannya atau semoga presiden Indonesia mendatang adalah Presiden Indonesia yang Super Sic yang suka pada tantangan bukan hanya suka berkaraoke dan berduduk-duduk manis. Mengutip isi Pledoi Soekarno pada sidang di depan Landraad Bandung dengan judul “Indonesia Menggugat” menyatakan bahwa “Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, maupun sosial, maupun politik, diperuntukkan bagi yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya”, maka dari sana kita mengerti bahwa sedari dulu hingga saat ini, memang kesejahteraan dan kedaulatan rakyatlah yang dituju bukan hanya popularitas rezim penguasa.


Ridwan Arifin
ridwanarifin89@ymail.com

0 komentar:

Posting Komentar