Sabtu, 05 November 2011

Moral, Peradaban, dan Tragedi Keadilan


Mei 1998, Siang itu, Kota Jakarta, masih dirubungi jutaan massa aksi demonstrasi yang datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Tidak seperti biasanya. Aksi demonstrasi menyebar secara sporadis dan begitu cepat bukan hanya di Kota Jakarta tapi di kota-kota lainnya di Indonesia. Bahkan aksi-aksi tersebut banyak juga yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk melakukan berbagai tindakan yang justru dibarengi oleh berbagai tindakan kriminal yang bersifat SARA. Bentrokan fisik antara mahasiswa dan aparat keamanan menjadi tontonan yang mencekam bukan hanya bagi masyarakat Kota Jakarta, bahkan seluruh Indonesia. Titik klimaks kekecewaan rakyat atas pemerintahan yang otoriter, mengkerdilkan aspirasi, bahkan korupsi yang merajalela hingga Indonesia mengalami krisis berkepanjangan pasca itu diwujudkan dalam bentuk penggulingan Soeharto kala itu.
Tulisan-tulisan besar yang pasti menghiasi rumah, kantor, atau bahkan pertokoan, tulisan ‘Milik Pribumi Asli’, menjadi bukti bahwa kejahatan SARA terjadi secara sporadis dan sangat cepat di tengah-tengah aksi penggulingan rezim pemerintahan. Bangunan-bangunan beton Jakarta menjadi saksi bisu atas ‘tragedi kekejaman’ kekuasaan yang merezim atas rakyat yang haus akan keadilan dan kesejahteraan. Pelanggaran HAM kala itu menjadi legitimasi penguasa sebagai upaya melindungi kekuasaannya. Padahal, pernyataan dan pengakuan HAM dalam konstitusi ditegaskan secara ekspilisit untuk menjunjung tinggi harkat martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan asasi.[1] Bahkan hingga saat ini, peristiwa tersebut selalu menjadi titik tolak perubahan bagi kaum muda di Indonesia.
Pelan tapi pasti. Kehancuran dalam berbagai sektor kehidupan terus saja menghadapi bangsa ini. Ketidakmandirian ekonomi, degradasi moral anak bangsa, bahkan sampai pergeseran nilai-nilai moral yang justru menjerumuskan bukan hanya budaya timur kita tapi kepribadian bangsa secara umum. Kemiskinan yang kian hari kian menjadi-jadi, hutang negara yang semakin membesar bak perut anak-anak busung lapar di negeri ini bahkan setiap kepala yang lahir sudah menanggung beban hutang. Belum selesai masalah kemiskinan, kita masih terus dihadapkan dengan permasalahan keamanan negara. Mulai dari tindakan radikal dan terorisme yang mengancam keamanan dan kedaulatan, bahkan berbagai gesekan sosial di masyarakat yang berbau SARA mengancam keberagaman agama dan bangsa di Indonesia ini. Tak hanya sampai disitu, kita masih terus dikejutkan dan dikhawatirkan oleh tindakan-tindakan kriminal kejahatan bahkan korupsi yang sudah menjadi common enemy bagi tiap generasi anak bangsa. Tapi sayangnya, kita sering terjerat jebakan musuh tersebut sehingga korupsi sudah menjadi penyakit yang menjangkiti di setiap tingkatan masyarakat.
Pembangunan moral generasi anak bangsa serta ‘pelurusan’ moral masyarakat yang sudah terlanjur terjerumus baik secara struktural maupun kultural harus diupayakan segera. Secara struktur, masyarakat dihadapkan pada pola-pola birokrasi pemerintahan dan masyarakat yang mengharuskan kita mengikuti arus, bahkan arus negatif sekalipun hingga tidak ada lagi pilihan lain bagi kita untuk melakukannya. Dan pada akhirnya menjadi kultur (budaya) yang terkesan sudah ‘dipermisifkan’ oleh masyarakat kita, bahkan untuk tindakan korupsi sekalipun. Coba tengok praktik-praktik korupsi ‘kecil-kecilan’ di kampus. Maka terdapat benang merah antara moral dan tragedi-tragedi kehidupan. Sebab, dipungkiri atau tidak, moral adalah kunci dan modal utama dalam mengatasi semua permasalahan yang tengah dihadapi bangsa. Moral akan mendorong segala bentuk tindakan aksi dan fikir yang pada akhirnya berimplikasi secara luas. Maka, baik buruknya perkembangan bangsa, maju atau mundurnya peradaban manusia, sedikit banyak ditentukan oleh moral dari tiap-tiap individu.

Konservasi Moral
            Salah satu komitmen usaha yang diupayakan oleh anak bangsa untuk menyelamatkan generasi Indonesia dari kehancuran adalah upaya-upaya penyadaran dan pencerdasan serta pembebasan pikiran dari belenggu jerat doktrinasi paham amoral. Konservasi moral[2] salah satunya. Usaha yang dilakukan untuk menngembalikan kembali atau paling tidak sebagai upaya pencegahan terhadap penghancuran moral. Gerakan-gerakan perbaikan diri baik dari segi kualitas pemikiran, kontribusi maupun keimanan dikobarkan untuk menjadi kesemangatan bersama dalam menyonggsong Indonesia lebih baik.
            Maka kemudian, dalam situasi kerentaan bangsa, kelelahan pikiran dan ketidakberdayaan bargaining position negeri kita atas negeri-negeri lainnya harus ada usaha tegas. Sebagaimana Hamzah (2002)[3] mengatakan bahwa siapa saja yang matanya redup, lesu, bodoh, dan oportunis harus disingkirkan. Bangsa ini harus diberikan kepada yang matanya bersinar, kuat, berani, dan patriotik. Dan konservasi moral-lah menjadi titik tolak perubahan, paling tidak dari dalam kampus sebagai basis generasi anak bangsa yang akan melanjutkan peradaban bangsa Indonesia kedepan.

Ridwan Arifin*
ridwanarifin89@ymail.com


Catatan Kaki

[1] Indah Sri Utari, HAM Sebagai Kritik (Gagasan tentang Politik Hukum Nasional di Tengah Tuntutan Global), Jurnal Pandecta Vol. 2 No.1 Januari-Juni 2008, Semarang: FH UNNES, 2008, h. 20-21.  
[2] Konservasi moral merupakan salah satu upaya yang dicetuskan oleh UKKI Unnes dalam rangka mendukung Unnes sebagai Universitas Konservasi. Dalam konteks keagamaan, konservasi moral mencakup berbagai bentuk upaya perbaikan moral, diri dan ibadah keimanan. Bukan hanya bagi pemeluk Islam, tapi untuk semua pemeluk agama, karena tiap agama selalu memuat perintah dan ajaran tentang moral manusia. Maka sehat secara jasmani dan ruhani, fikriyah dan bathiniyah adalah tujuan akhir dari upaya konservasi, baik moral, budaya maupun konservasi lingkungan.
[3] Fahri Hamzah, Pemuda dan Usia Suatu Bangsa (Refleksi Sumpah Pemuda 28 Oktober 2002), Dari Kader untuk Bangsa, Bandung: Fitrah Rabbani, 2007, h.49-50.

0 komentar:

Posting Komentar