Sabtu, 05 November 2011

Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia


Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.


Seringkali banyak pihak mengaitkan antara kemiskinan dengan pendidikan. Kemiskinan kerapkali dijadikan argumentasi yang kuat atas rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah berkurang secara signifikan, dari 24,2% pada tahun 1998 menjadi 13,3% pada tahun 2010. Tapi jumlah angka penduduk miskin masih dikisaran 30 juta orang. Adalah hak setiap rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang tidak dapat memungkiri bahwa pendidikan adalah hakikat dari kehidupan. Dengan manusia akan lebih sejahtera dan terarah. Dan dengan pendidikan pula manusia akan menjadi bijaksana.
            Pendidikan di negeri ini akan sangat berkaitan dengan berbagai aspek yang tengah terjadi baru-baru ini. pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya bahkan pertahanan. Karena bagaimanapun juga baik buruknya, rendah tingginya atau bahkan maju atau lambatnya perkembangan pendidikan di Indonesia ditentukan oleh aspek-aspek tersebut. Bagaimana tidak demikian faktanya jika kita melihat berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan terkait dukungannya yang rendah terhadap pendidikan bagi rakyat Indonesia. Maka tidak jarang beberapa orang mengatakan bahwa pendidikan adalah modal awal (initial endowment) namun akan terasa sangat sulit didapatkan di negeri ini.
            Buruknya sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini menjadi salah satu tolak ukur buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang di Indonesia berbagai sistem model pendidikan telah dicoba bahkan masih teringat di benak kita semua kebijakan mengenai klasifikasi sokalh berstandar internasional yang justru membuat jurang pemisah antara masayarakat mampu dan tidak mampu. Semestinya tidak demikian karena pendidikan adalah hak semua rakyat. Hasil Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. Hal ini tentunya menjadi salah satu bukti buruknya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
            Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia sebagai penjamin hak-hak rakyat atas kehidupannya, jika bukan pemerintah siapalah yang hendak menjamin semuanya? Pendidikan akan berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Karena tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan begitu juga bagi pemerintah. Melihat laporan dari  United Nation Develompent Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005 yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia ternyata tetap buruk adalah sebuah kekehawatiran bersama. Tahun 2004 Indonesia baru menempati urutan ke-111 dari 175 negara sedangkan pada tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Mnyanmar (132) dan Laos (135).
            Belum tuntasnya masalah rendahnya akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, pemerintah dihadapkan pada tinggi angka pengangguran di negeri ini. Karena diakui atau tidak, tingginya angka pengangguran tersebut berbanding lurus dengan rendahnya akses pendidikan masyarakat Indonesia. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, diploma/S0 27,5% dan PT sebesar 36,6% sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.

Anggaran yang Super Mini
            Di tengah gembar-gembor pemerintah tentang partisipasi penuhnya terhadap pendidikan Indonesia justru terkesan omong kosong belaka tanpa bukti nyata. Rendahnya anggaran di sektor pendidikan adalah bukti ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam membangun pendidikan nasional kita. Berapa banyak sekolah-sekolah yang rusak, sudah tidak layak atau bahkan roboh. Dan begitu banyak pula yang terabaikan oleh pemerintah Indonesia. Di DKI Jakarta saja pada tahun 2000 ada sekitar 400 gedung sekolah di rusak. Gedung-gedung tersebut tidak pernah direhabilitasi sejak dibangun. Namun pada tahun 2008 APBD DKI Jakarta hanya menganggarkan dana untuk melakukan perbaikan total atas 21 sekolah. Anggaran pendidikan terbagi untuk  berbagai subsidi dan bantuan.
Data dari Balitbang Depdiknas tahun 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 juta, yang terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Selain itu beban biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua/siswa) hanya berkisar 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total. Sedangkan data dari laporan Bank Dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah menanggung pembiayaan pendidikan 89% untuk rakyatnya. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, presentasi anggaran yang disediakan pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.
Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit memang menjadi salah satu faktor penentu tinggi rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia. Lihat saja ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 sebesar Rp 427,6 trilliun. Dari jumlah tersebut yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp 36,7 trilliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggran pendidikan adalah 20% dari 427,6 trilliun atau sebesar Rp 85,5 trilliun, maka masih terdapat defisit atau kekurang kebutuhan dana pendidikan sebesar 47,9 trilliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah pada 4 juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen pertahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,01% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebsar 8,1 % pada tahun  2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan 90,10 trilliun dari total anggaran Rp 763,6 trilliun. Sebegitu rendahnya kah anggaran pendidikan untuk masyarakat Indonesia? Lalu kemanakah uang rakyat yang dikelola negara dihabiskan oleh negara?

Relawan Masuk Desa
            Rendahnya tingkat pendidikan di desa dan daerah tertinggal bukan lagi rahasia umum. Tingkat buta aksara di Indonesia terutama daerah tertinggal masih sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya akses pendidikan bagi masyarakat di daerah tersebut. Katakanlah tingkat pencapaian APK (angka parsitisipasi kasar) dan APM (angka partisipasi murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah. Hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sebanyak 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendididkan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Sampai tahun 2010 saja masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa timur (1.086.921 orang), jateng (640.428), jabar (383.288), sulsel (291.230), NTT (117.839), Kalbar (117.339, dan Banten (114.763 orang).
            Untuk menekan jumlah buta aksara dan mengatasi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia, pemerintah tidak cukup banyak mempunyai pasokan guru untuk disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Adalah menjadi sangat penting peranan mahasiswa dan masyarakat yang peduli akan nasib bangsa ini ketika redahnya ketersediaan jumlah tenaga pengajar di negeri ini. Harus ada sekelompok orang yang rela mendedikasikan dirinya untuk sekedar mengajarkan baca tulis di daerah pedalaman, atau bahkan daerah tertinggal sekalipun. Bukanlah materi yang dituju tapi sebuah kepuasan batin akan pekerjaan yang ditekuninya tersebut. Kita tidak banyak mendengar kisah orang yang rela menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan aksara di daerah pedalaman, namun pastilah ada orang seperti itu.
            Berbagai upaya bisa dilakukan selain menjadi tenaga pengajar atau relawan di daerah tertinggal. Dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang universal terhadap generasi sekitar kita, secara tidak langsung kita akan membentuk pribadi-pribadi yang kokoh untuk bangsa ini. Menyiapkan generasi 2045 sebagaimana yang digambarkan oleh Bambang Indriyanto. Bahwa di tengah globalisasi dan perkembangan zaman yang semakin pesat, masih ada mereka yang buta aksara, masih terdapat mereka yang belum terjamah oleh pendidikan kita. Maka Bambangpun mengatakan bahwa dengan globalisasi, kompetisi akan menjadi aturan main yang harus diikuti setiap negara. Memenangi kompetisi dengan hanya mengandalkan sumber daya alam tidak lagi relevan karena sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi modal utama.
            Maka dari itu, untuk menjamin keterbukaan akses masa depan bagi generasi Indonesia, knowledge and technology base economy sebagaimana yang diutarakan oleh Bambang Indriyanto akan semakin dominan. Dengan mengandalkan penanaman pengatahuan kepada generasi Indonesia dan penggunaaan teknologi akan menjadikan pemerataan pendidikan di negeri ini akan semakin mudah dan semakin terjangkau oleh semua rakyat.

Menuju Visi Pendidikan yang Lebih Maju
            Sejalan dengan berbagai kebijakan reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia, visi pendidikan Indonesia pun seharusnya lebih mengedepankan pemebentukan karakter bangsa sebagai asset besar ke depan. Hendaknya kebijakan pendidikan tidak berada dalam kevakuman yang justru akan lebih menjerumuskan rakyat nantinya. Kemajuan teknologi informasi, teterbukaan akses publik, bahkan perkembangan arus globalisasi menuntut pemerintah menajamkan visinya dalam sektor pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun juga, pendidikan adalah asset terbesar bangsa ini. Indonesia akan menjadi bangsa yang besar ketika akses pendidikan di dapatkan oleh semua rakyat Indonesia dengan mudah dan bermutu.
            Akhir dari semua pilihan adalah menunggu dan menanti kemajuan kebijakan pemerintah dalam pendidikan. Namun dalam masa penantian tersebut, kita – rakyat – menjadi sangat rentan terhadap sikap pragmatis. Oleh karenanya butuh sebuah keberanian dalam membuka cakrawala masyarakat Indonesia. Membuka kotak Pandora pendidikan di Indonesia yang berujung pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Dan semua pihak memiliki peranannya masing-masing.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Naskah Esai Bidang Pendidikan
Finalis Lomba Esai Nasiona iDEA IPB Tahun 2011

0 komentar:

Posting Komentar