Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia

Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.

Kebangkitan Muslim

Islam bukan hanya sebagai sebuah agama yang lekat dan sarat akan aktivitas ritual keagamaannya, tapi lebih dari itu, Islam adalah konsep hidup bukan hanya bagi umat Islam itu sendiri tapi bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Islam datang dan diperuntukkan sebagai rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam yang meliputi seluruh umat dan kehidupan.

LEARNED FROM SUPER SIC

Konteks Indonesia, keberanian Simonceli memberikan sebuah pencerahan betapa keberanian pada akhirnya membutuhkan pengorbanan, bukan untuk kesuksesan tapi untuk dedikasi.

RAKYAT MENGGUGAT

Generasi muda sepanjang sejarah menempatkan diri sebagai kelompok yang memiliki peran strategis dalam perubahan, baik secara moral, sosial, politik, maupun kultur.

PAHLAWAN PADAMU KAMI MENGADU

Pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, membebaskan rakyat dari ketidakberdayaan, melepaskan rakyat dari penjajahan, dan menyadarkan rakyat akan identitas bangsanya.

Minggu, 13 November 2011

Nasionalisasi Pahlawan Indonesia


Pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, membebaskan rakyat dari ketidakberdayaan, melepaskan rakyat dari penjajahan, dan menyadarkan rakyat akan identitas bangsanya. Maka jika pemaknaan pahlawan yang demikian, kita dapat mengatakan bahwa Presiden adalah pahlawan, Polisi adalah pahlawan, Guru adalah pahlawan, Menteri adalah Pahlawan, Aktivis adalah pahlawan, sebab mereka adalah orang-orang yang berjuang sepenuh jiwa raga untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan dan membebaskan rakyat dari berbagai upaya pembodohan dan kita menyebutnya pahlawan dalam makna yang sempit.
Hal ini akan menjadi sangat ironis saat kita mendengar berita bahwa rakyat justru merasa terancam dengen keberadaan aparat negara. Atau ketika kita melihat aksi demonstrasi besar-besaran tiap kali Presiden dan atau Wapres kita mengunjungi daerah-daerah tertentu. Berbeda jauh beberapa tahun lalu saat pahlawan Indonesia ditunggu kehadirannya, disambut kedatangannya, dan dihargai dengan penghargaan yang besar. Pahlawan yang dibicarakan kali ini adalah pahlawan dalam arti sempit, bukan mereka (pahlawan) yang namanya tersemat gelar kepahlawanan nasional. Dengan membandingkan pahlawan dalam artian yang sebenarnya, seharusnya pahlawan kita saat ini memiliki beberapa karakter kepahlawanan salah satunya adalah berjuang untuk rakyat. Hal tersebut berimplikasi pada dunia visi dan dunia aksi seorang pahlawan harus berada dalam kerangka prorakyat. Apapun yang dipikirkan dan apa-apa saja yang diusahakan harus bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat.
Jika kemudian pahlawan kita dulu sedikit sekali memikirkan pribadinya atau bahkan keluarganya, sehingga begitu dicintai oleh rakyat dan bahkan tanpa pengakuan sekalipun mereka disebut-sebut sebagai pahlawan. Tapi sayang bukan kepalang, melihat kondisi fakta di lapangan bahwa pahlawan kita saat ini justru jauh dari paradigma prorakyat. Kebutuhan akan ekonomi dan tendensi politik praktik golongan tertentu mendorong pahlawan-pahlwan kita ‘menjual’ rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka bahkan ke pihak asing. Independensi pahlawan kita sekarang masih dipengaruhi oleh ‘sogokan’ politik, ekonomi, bahkan pertahanan sehingga tak heran banyak kebijakan-kebijakan yang diambil justru tidak prorakyat. Kita bisa menerka seberapa jauh pengaruh asing terhadap ekonomi kita, atau seberapa besar ‘titipan dan paksaan’ pihak asing terhadap kurikulum pendidikan anak bangsa.
Tuntutan untuk menasionalisasi industry yang ada di Indonesia selalu menjadi rumor yang diangkat, tapi justru sekarang kita harus mengusulkan upaya untuk menasionalisasi pahlawan Indonesia itu sendiri. Dengan berbagai sebab, nasionalisasi pahlawan Indonesia menjadi penting sebab pahlawan kita justru bukan lagi menjadi pejuang rakyat sendiri tapi menjadi pejuang untuk ekonomi kapitalis, dan pejuang kepentingan para koorporat asing. Perselisihan antara rakyat dengan PT Freeport di Papua yang juga melibatkan Polri yang seharusnya menjaga dan mengayomi rakyat justru menjadi ‘anjing penjaga’ koorporat yang jelas-jelas ‘menjajah’ rakyat adalah bukti nyata bahwa pahlawan kita perlu dinasionalisasi. Agar kemudian, pahlawan kita menjadi pahlawan milik rakyat, miliki Indonesia, bukan milik pihak pemegang modal, uang, atau kekuasaan.

ridwanarifin80@ymail.
Refleksi Hari Pahlawan Nasional
10 November 2011

New 7 Wonders Foundation: Pragmatisme Idol Dunia


Di tengah hingar bingarnya dukungan terhadap Pulau Komodo Indonesia sebagai tujuh keajaibana dunia yang baru justru mencuat kecurigaan terhadap lembaga yang melakukan pemilihan ini. Siapa lagi kalau bukan New 7 Wonders Foundation. Beberapa pihak termasuk Duta Besar Indonesia untuk Swiss meragukan netralitas dan kredibelitas lembaga tersebut sehingga Indonesia berkemungkinan kecil untuk lolos. Ada juga beberapa pihak yang menyayangkan Indonesia mengikuti pemilihan ini, tapi nasi sudah menjadi bubur, Indonesia sudah terlanjur mendaftarkan diri.
Maka kemudian, sah-sah saja banyak pihak yang meragukan kredibilitas lembaga penyelenggara tersebut lantaran New 7 Wonders Foundation bukan lembaga resmi dunia yang berhak menentukan mana-mana saja yang masuk ke dalam tujuh keajaiban dunia yang baru seperti UNESCO. Kita bisa menelusuri sebenarnya siapakah penggagas New 7 Wonders Foundation dan untuk motif apakah lembaga tersebut didirikan. Sebab kejanggalan-kejanggalan atas pemilihan tujuh keajaiban dunia yang baru bukan hanya kali ini terjadi. Sebelumnya pada tahun 2007 dirilis tujuh keajaiban dunia yang baru yang justru banyak bangunan-bangunan modern yang terpilih ketimbang bangunan-bangunan kuno yang menyejarah dan memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi.
‘Biang kerok’ dari semua ini adalah Bernand Weber, seorang jutawan, petualang, pilot, kurator museum yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum sekaligus pernah menjadi sutradara–di antaranya Hotel Locarno  tahun 1978–dia lah yang disebut-sebut bertanggungjawab atas semua kontroversi ini. Sebagaimana diungkapkan Ruslan dan Nurhayati (2007) bahwa Weber mulai mengkampanyekan idenya dengan mendirikan dua yayasan, New Open World dan New 7 Wonders. Tidak cukup mendanai segala kegiatannya, Weber juga menggandeng sponsor dan menggelar acara pencarian dana. Salah satunya dengan mengorganisasi paket wisata ke tempat-tempat yang dinominasikan, membuat acara di sana, termasuk menerbangkan ratusan balon udara. Tidak hanya itu, bahkan Weber juga menggandengn stasiun televise dan mengajak tokoh-tokoh dunia untuk menjadi juru promosi, salah satunya Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad yang pernah diajaknya untuk berkampanye.
Bahkan sejak tahun 2001, Weber dengan timnya yang beranggotakan sejumlah arsitek kelas dunia dan mantan pemimpin UNESCO, Prof. Frederico Mayor Zaragoza, segera mengumpulkan data bangunan-bangunan kuno dan modern untuk dinominasikan menjadi tujuh keajabiban dunia yang baru dan hasilnya terpilihlah 77 kandidat unggulan. Kemudian panel juri yang terdiri dari orang-orang internal New 7 Wonders Foundation menetapkan 21 kandidat yang kemudian dilemparkan ke ‘pasar’, kepada masyarakat dunia untuk memilihnya. Dan naasnya, pada pemilihan tahun 2007, Piramida Giza di Mesir yang sudah eksis dari 2000 tahun lalu yang memiliki sejarah yang panjang tidak terpilih dan digeser dengan Patung Kristus Sang Penebus (Christ Redeemer) dari Brasil yang jelas-jelas bangunan baru yang didirikan manusia.
Maka kemudian sangat jelas bahwa pemilihan tujuh keajaiaban dunia baru hanyalah menggunakan cara-cara “idol” dengan menggandalkan polling, maka mana yang terkenal dan banyak dikunjungi orang akan di di-SMS, bukan penilaian dari segi sejarah atau arsitekturnya dan kontribusinya untuk peradaban umat manusia. Dan ternyata, UNESCO yang memiliki wewenang atas penyelamatan dan penentuan aset budaya dunia, dalam hal ini juga tidak mendukung acara tersebut. “Daftar tujuh keajaiaban dunia yang baru hanya inisiatif pribadi yang tidak bisa berkontribusi secara signifikan dalam perlindungan situs yang dipilih”, demikian apa yang pernah dinyatakan oleh UNESCO. 
Maka tidak salah kemudian, sebagian orang akan merasa asing dengan tujuh keajaiaban dunia yang baru nantinya, seperti apa yang dialami banyak orang pada tahun 2007 lalu. Dan berharap, semoga saja Pulau Komodo Indonesia terpilih bukan hanya karena banjiran SMS dan polling tapi karena benar-benar Pulau Komodo Indonesia menjadi aset yang dicintai, membumi, memasyarakat, mendunia, dan memberikan kontribusi untuk peradaban umat manusia tentunya.


ridwanarifin89@ymail.com
Komunitas Ilalang Indonesia
Inspiring Society

Sabtu, 05 November 2011

Korupsi Mahasiswa: Ironi di Tengah Peperangan


KORUPSI nampaknya sudah benar-benar menjangkiti semua lapisan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit orang yang menstratifikasi tindak pidana korupsi ke dalam extra ordinary crime. Memang tidak salah dan barangkali sangat benar. Bagaimana tidak benar, nyata-nyata korupsi telah merusak tak hanya perekonomian negara, tapi juga sosial budaya, pendidikan, pertahanan, bahkan hukum dan HAM pun dirusak olehnya. Menurut data Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2008 adalah 2,6 menempati urutan ke-126 dari 180 negara. Mendengar kata “korupsi” pastilah semua orang bersepakat untuk memberantasnya. Tak terkecuali kalangan akademisi atau bahkan aktifis mahasiswa, yang sangat gencar dan giat menyuarakan perang melawan korupsi. Tapi di sini ada sebuah ironi di tengah peperangan yang tengah dilakukan terhadap extra ordinary crime tersebut. Di satu sisi kita berteriak sekencang-kencangnya, menyatakan perang terhadap korupsi, tapi di sisi lain justru disadari atau tidak kita telah melakukan praktik-praktik korupsi “ala mahasiswa”. Memang definisi korupsi yang sebagimana kita pahami adalah korupsi yang sebatas hal yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara, sebagaimana pada pasal  3 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan dengan sangat gamblang definisi korupsi yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
            Memang belum banyak mendapat sorotan apalagi perhatian seirus akan kondisi dan fenomena korupsi di kalangan mahasiswa. Nampaknya korupsi di kalangan mahasiswa sudah menjadi hal yang lumrah dan dimaklumi. Disadari atau tidak kita semua terjebak dalam kondisi dimana korupsi dalam konteks mahasiswa menjadi suatu hal yang bias dan samar-samar. Sampai-sampai banyak pihak beranggapan bahwa ini sah-sah saja dan wajar-wajar saja. Meskipun demikian, jika melihat konteks definisi korupsi sebagaimana yang didefinisikan dalam UU Tipikor, korupsi yang dilakukan mahasiswa belum dapat dikatakan suatu hal yang merugikan negara atau keuangan negara, tapi disana ada maksud dan tujuan yang jelas yaitu untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau sarana. Jelas sekali hal ini merupakan sesuatu hal yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Kalau saja ada KPK versi mahasiswa, pasti sudah banyak koruptor-koruptor mahasiswa yang tertangkap dan diadili.
Berbicara mengenai korupsi di kalangan mahasiswa, maka bukanlah salah mahasiswa sepenuhnya.  Belajar dari pengalaman, bahwa sistem menjadi hal terpenting dan paling berpengaruh dalam pembentukan karakter mahasiswa. Kita tidak bisa menafikan praktik-praktik mark up atau penggelembungan dana-dana kegiatan, atau bahkan manipulasi laporan kegiatan dengan maksud mendapatkan dana yang lebih. Kalau selama ini dalam percaturan penegakkan hukum di Indonesia kita sering sekali mendengar istilah “Markus” atau Makelar Kasus, maka tak salah jika kita juga menyebut peristilah atas fenomena korupsi di mahasiswa dengan “Martan” atau Makelar Kegiatan. Banyak sekali mahasiswa atau bahkan aktifis mahasiswa yang terlibat di lembaga kemahasiswaan, mulai dari tingkat jurusan sampai universitas menjadi makelar-makelar kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan disana terjadi praktik-praktik mark up pendanaan, sehingga tak jarang ada orang yang mengambil keuntungan dari hal tersebut. Selama ini bukan akuntabilitas subtantif yang kita ke depankan tapi akuntabilitas prosedural lah yang kita lebih dahulukan. Akuntabilitas subtantif dimana hal yang dilaporkan adalah sesuai dengan hal yang telah dilaksanakan tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan. Lagi-lagi memang sistem menuntut akuntabilitas prosedural tersebut, tapi ini berefek pada pembentukan karakter mahasiswa yang koruptor atau setidaknya mendekati itu, meskipun banyak pihak menghalalkannya dengan berdalih uang hasil markup laporan tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang lain.
Apapun itu setiap orang mempunyai sikap dan pandangan masing-masing dan seharusnya para pemegang sistem yang dalam hal ini birokrasi kampus mau lebih mengerti tentang kondisi mahasiswa agar jangan sampai kampus sebagai inkubator para pemimpin bangsa justru terjadi sebuah aktifitas penghancur moral di sini. Saat untuk semua bergerak, bukan hanya sekedar beropini, bukan hanya sekedar ber-komunitas anti korupsi tapi benar-benar menunjukkan aksi dan tindakan nyata dalam hal pemberantasan koruspi terutama di kampus kita tercinta.



Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Mahasiswa Bagian Pidana Fakultas Hukum Angkatan 2007
Pernah dimuat pada Koran Kampus UNNES, Kompas Mahasiswa Edisi 2010

Moral, Peradaban, dan Tragedi Keadilan


Mei 1998, Siang itu, Kota Jakarta, masih dirubungi jutaan massa aksi demonstrasi yang datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Tidak seperti biasanya. Aksi demonstrasi menyebar secara sporadis dan begitu cepat bukan hanya di Kota Jakarta tapi di kota-kota lainnya di Indonesia. Bahkan aksi-aksi tersebut banyak juga yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk melakukan berbagai tindakan yang justru dibarengi oleh berbagai tindakan kriminal yang bersifat SARA. Bentrokan fisik antara mahasiswa dan aparat keamanan menjadi tontonan yang mencekam bukan hanya bagi masyarakat Kota Jakarta, bahkan seluruh Indonesia. Titik klimaks kekecewaan rakyat atas pemerintahan yang otoriter, mengkerdilkan aspirasi, bahkan korupsi yang merajalela hingga Indonesia mengalami krisis berkepanjangan pasca itu diwujudkan dalam bentuk penggulingan Soeharto kala itu.
Tulisan-tulisan besar yang pasti menghiasi rumah, kantor, atau bahkan pertokoan, tulisan ‘Milik Pribumi Asli’, menjadi bukti bahwa kejahatan SARA terjadi secara sporadis dan sangat cepat di tengah-tengah aksi penggulingan rezim pemerintahan. Bangunan-bangunan beton Jakarta menjadi saksi bisu atas ‘tragedi kekejaman’ kekuasaan yang merezim atas rakyat yang haus akan keadilan dan kesejahteraan. Pelanggaran HAM kala itu menjadi legitimasi penguasa sebagai upaya melindungi kekuasaannya. Padahal, pernyataan dan pengakuan HAM dalam konstitusi ditegaskan secara ekspilisit untuk menjunjung tinggi harkat martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan asasi.[1] Bahkan hingga saat ini, peristiwa tersebut selalu menjadi titik tolak perubahan bagi kaum muda di Indonesia.
Pelan tapi pasti. Kehancuran dalam berbagai sektor kehidupan terus saja menghadapi bangsa ini. Ketidakmandirian ekonomi, degradasi moral anak bangsa, bahkan sampai pergeseran nilai-nilai moral yang justru menjerumuskan bukan hanya budaya timur kita tapi kepribadian bangsa secara umum. Kemiskinan yang kian hari kian menjadi-jadi, hutang negara yang semakin membesar bak perut anak-anak busung lapar di negeri ini bahkan setiap kepala yang lahir sudah menanggung beban hutang. Belum selesai masalah kemiskinan, kita masih terus dihadapkan dengan permasalahan keamanan negara. Mulai dari tindakan radikal dan terorisme yang mengancam keamanan dan kedaulatan, bahkan berbagai gesekan sosial di masyarakat yang berbau SARA mengancam keberagaman agama dan bangsa di Indonesia ini. Tak hanya sampai disitu, kita masih terus dikejutkan dan dikhawatirkan oleh tindakan-tindakan kriminal kejahatan bahkan korupsi yang sudah menjadi common enemy bagi tiap generasi anak bangsa. Tapi sayangnya, kita sering terjerat jebakan musuh tersebut sehingga korupsi sudah menjadi penyakit yang menjangkiti di setiap tingkatan masyarakat.
Pembangunan moral generasi anak bangsa serta ‘pelurusan’ moral masyarakat yang sudah terlanjur terjerumus baik secara struktural maupun kultural harus diupayakan segera. Secara struktur, masyarakat dihadapkan pada pola-pola birokrasi pemerintahan dan masyarakat yang mengharuskan kita mengikuti arus, bahkan arus negatif sekalipun hingga tidak ada lagi pilihan lain bagi kita untuk melakukannya. Dan pada akhirnya menjadi kultur (budaya) yang terkesan sudah ‘dipermisifkan’ oleh masyarakat kita, bahkan untuk tindakan korupsi sekalipun. Coba tengok praktik-praktik korupsi ‘kecil-kecilan’ di kampus. Maka terdapat benang merah antara moral dan tragedi-tragedi kehidupan. Sebab, dipungkiri atau tidak, moral adalah kunci dan modal utama dalam mengatasi semua permasalahan yang tengah dihadapi bangsa. Moral akan mendorong segala bentuk tindakan aksi dan fikir yang pada akhirnya berimplikasi secara luas. Maka, baik buruknya perkembangan bangsa, maju atau mundurnya peradaban manusia, sedikit banyak ditentukan oleh moral dari tiap-tiap individu.

Konservasi Moral
            Salah satu komitmen usaha yang diupayakan oleh anak bangsa untuk menyelamatkan generasi Indonesia dari kehancuran adalah upaya-upaya penyadaran dan pencerdasan serta pembebasan pikiran dari belenggu jerat doktrinasi paham amoral. Konservasi moral[2] salah satunya. Usaha yang dilakukan untuk menngembalikan kembali atau paling tidak sebagai upaya pencegahan terhadap penghancuran moral. Gerakan-gerakan perbaikan diri baik dari segi kualitas pemikiran, kontribusi maupun keimanan dikobarkan untuk menjadi kesemangatan bersama dalam menyonggsong Indonesia lebih baik.
            Maka kemudian, dalam situasi kerentaan bangsa, kelelahan pikiran dan ketidakberdayaan bargaining position negeri kita atas negeri-negeri lainnya harus ada usaha tegas. Sebagaimana Hamzah (2002)[3] mengatakan bahwa siapa saja yang matanya redup, lesu, bodoh, dan oportunis harus disingkirkan. Bangsa ini harus diberikan kepada yang matanya bersinar, kuat, berani, dan patriotik. Dan konservasi moral-lah menjadi titik tolak perubahan, paling tidak dari dalam kampus sebagai basis generasi anak bangsa yang akan melanjutkan peradaban bangsa Indonesia kedepan.

Ridwan Arifin*
ridwanarifin89@ymail.com


Catatan Kaki

[1] Indah Sri Utari, HAM Sebagai Kritik (Gagasan tentang Politik Hukum Nasional di Tengah Tuntutan Global), Jurnal Pandecta Vol. 2 No.1 Januari-Juni 2008, Semarang: FH UNNES, 2008, h. 20-21.  
[2] Konservasi moral merupakan salah satu upaya yang dicetuskan oleh UKKI Unnes dalam rangka mendukung Unnes sebagai Universitas Konservasi. Dalam konteks keagamaan, konservasi moral mencakup berbagai bentuk upaya perbaikan moral, diri dan ibadah keimanan. Bukan hanya bagi pemeluk Islam, tapi untuk semua pemeluk agama, karena tiap agama selalu memuat perintah dan ajaran tentang moral manusia. Maka sehat secara jasmani dan ruhani, fikriyah dan bathiniyah adalah tujuan akhir dari upaya konservasi, baik moral, budaya maupun konservasi lingkungan.
[3] Fahri Hamzah, Pemuda dan Usia Suatu Bangsa (Refleksi Sumpah Pemuda 28 Oktober 2002), Dari Kader untuk Bangsa, Bandung: Fitrah Rabbani, 2007, h.49-50.

Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia


Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.


Seringkali banyak pihak mengaitkan antara kemiskinan dengan pendidikan. Kemiskinan kerapkali dijadikan argumentasi yang kuat atas rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah berkurang secara signifikan, dari 24,2% pada tahun 1998 menjadi 13,3% pada tahun 2010. Tapi jumlah angka penduduk miskin masih dikisaran 30 juta orang. Adalah hak setiap rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang tidak dapat memungkiri bahwa pendidikan adalah hakikat dari kehidupan. Dengan manusia akan lebih sejahtera dan terarah. Dan dengan pendidikan pula manusia akan menjadi bijaksana.
            Pendidikan di negeri ini akan sangat berkaitan dengan berbagai aspek yang tengah terjadi baru-baru ini. pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya bahkan pertahanan. Karena bagaimanapun juga baik buruknya, rendah tingginya atau bahkan maju atau lambatnya perkembangan pendidikan di Indonesia ditentukan oleh aspek-aspek tersebut. Bagaimana tidak demikian faktanya jika kita melihat berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan terkait dukungannya yang rendah terhadap pendidikan bagi rakyat Indonesia. Maka tidak jarang beberapa orang mengatakan bahwa pendidikan adalah modal awal (initial endowment) namun akan terasa sangat sulit didapatkan di negeri ini.
            Buruknya sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini menjadi salah satu tolak ukur buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang di Indonesia berbagai sistem model pendidikan telah dicoba bahkan masih teringat di benak kita semua kebijakan mengenai klasifikasi sokalh berstandar internasional yang justru membuat jurang pemisah antara masayarakat mampu dan tidak mampu. Semestinya tidak demikian karena pendidikan adalah hak semua rakyat. Hasil Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. Hal ini tentunya menjadi salah satu bukti buruknya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
            Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia sebagai penjamin hak-hak rakyat atas kehidupannya, jika bukan pemerintah siapalah yang hendak menjamin semuanya? Pendidikan akan berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Karena tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan begitu juga bagi pemerintah. Melihat laporan dari  United Nation Develompent Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005 yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia ternyata tetap buruk adalah sebuah kekehawatiran bersama. Tahun 2004 Indonesia baru menempati urutan ke-111 dari 175 negara sedangkan pada tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Mnyanmar (132) dan Laos (135).
            Belum tuntasnya masalah rendahnya akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, pemerintah dihadapkan pada tinggi angka pengangguran di negeri ini. Karena diakui atau tidak, tingginya angka pengangguran tersebut berbanding lurus dengan rendahnya akses pendidikan masyarakat Indonesia. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, diploma/S0 27,5% dan PT sebesar 36,6% sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.

Anggaran yang Super Mini
            Di tengah gembar-gembor pemerintah tentang partisipasi penuhnya terhadap pendidikan Indonesia justru terkesan omong kosong belaka tanpa bukti nyata. Rendahnya anggaran di sektor pendidikan adalah bukti ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam membangun pendidikan nasional kita. Berapa banyak sekolah-sekolah yang rusak, sudah tidak layak atau bahkan roboh. Dan begitu banyak pula yang terabaikan oleh pemerintah Indonesia. Di DKI Jakarta saja pada tahun 2000 ada sekitar 400 gedung sekolah di rusak. Gedung-gedung tersebut tidak pernah direhabilitasi sejak dibangun. Namun pada tahun 2008 APBD DKI Jakarta hanya menganggarkan dana untuk melakukan perbaikan total atas 21 sekolah. Anggaran pendidikan terbagi untuk  berbagai subsidi dan bantuan.
Data dari Balitbang Depdiknas tahun 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 juta, yang terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Selain itu beban biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua/siswa) hanya berkisar 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total. Sedangkan data dari laporan Bank Dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah menanggung pembiayaan pendidikan 89% untuk rakyatnya. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, presentasi anggaran yang disediakan pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.
Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit memang menjadi salah satu faktor penentu tinggi rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia. Lihat saja ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 sebesar Rp 427,6 trilliun. Dari jumlah tersebut yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp 36,7 trilliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggran pendidikan adalah 20% dari 427,6 trilliun atau sebesar Rp 85,5 trilliun, maka masih terdapat defisit atau kekurang kebutuhan dana pendidikan sebesar 47,9 trilliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah pada 4 juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen pertahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,01% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebsar 8,1 % pada tahun  2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan 90,10 trilliun dari total anggaran Rp 763,6 trilliun. Sebegitu rendahnya kah anggaran pendidikan untuk masyarakat Indonesia? Lalu kemanakah uang rakyat yang dikelola negara dihabiskan oleh negara?

Relawan Masuk Desa
            Rendahnya tingkat pendidikan di desa dan daerah tertinggal bukan lagi rahasia umum. Tingkat buta aksara di Indonesia terutama daerah tertinggal masih sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya akses pendidikan bagi masyarakat di daerah tersebut. Katakanlah tingkat pencapaian APK (angka parsitisipasi kasar) dan APM (angka partisipasi murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah. Hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sebanyak 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendididkan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Sampai tahun 2010 saja masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa timur (1.086.921 orang), jateng (640.428), jabar (383.288), sulsel (291.230), NTT (117.839), Kalbar (117.339, dan Banten (114.763 orang).
            Untuk menekan jumlah buta aksara dan mengatasi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia, pemerintah tidak cukup banyak mempunyai pasokan guru untuk disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Adalah menjadi sangat penting peranan mahasiswa dan masyarakat yang peduli akan nasib bangsa ini ketika redahnya ketersediaan jumlah tenaga pengajar di negeri ini. Harus ada sekelompok orang yang rela mendedikasikan dirinya untuk sekedar mengajarkan baca tulis di daerah pedalaman, atau bahkan daerah tertinggal sekalipun. Bukanlah materi yang dituju tapi sebuah kepuasan batin akan pekerjaan yang ditekuninya tersebut. Kita tidak banyak mendengar kisah orang yang rela menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan aksara di daerah pedalaman, namun pastilah ada orang seperti itu.
            Berbagai upaya bisa dilakukan selain menjadi tenaga pengajar atau relawan di daerah tertinggal. Dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang universal terhadap generasi sekitar kita, secara tidak langsung kita akan membentuk pribadi-pribadi yang kokoh untuk bangsa ini. Menyiapkan generasi 2045 sebagaimana yang digambarkan oleh Bambang Indriyanto. Bahwa di tengah globalisasi dan perkembangan zaman yang semakin pesat, masih ada mereka yang buta aksara, masih terdapat mereka yang belum terjamah oleh pendidikan kita. Maka Bambangpun mengatakan bahwa dengan globalisasi, kompetisi akan menjadi aturan main yang harus diikuti setiap negara. Memenangi kompetisi dengan hanya mengandalkan sumber daya alam tidak lagi relevan karena sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi modal utama.
            Maka dari itu, untuk menjamin keterbukaan akses masa depan bagi generasi Indonesia, knowledge and technology base economy sebagaimana yang diutarakan oleh Bambang Indriyanto akan semakin dominan. Dengan mengandalkan penanaman pengatahuan kepada generasi Indonesia dan penggunaaan teknologi akan menjadikan pemerataan pendidikan di negeri ini akan semakin mudah dan semakin terjangkau oleh semua rakyat.

Menuju Visi Pendidikan yang Lebih Maju
            Sejalan dengan berbagai kebijakan reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia, visi pendidikan Indonesia pun seharusnya lebih mengedepankan pemebentukan karakter bangsa sebagai asset besar ke depan. Hendaknya kebijakan pendidikan tidak berada dalam kevakuman yang justru akan lebih menjerumuskan rakyat nantinya. Kemajuan teknologi informasi, teterbukaan akses publik, bahkan perkembangan arus globalisasi menuntut pemerintah menajamkan visinya dalam sektor pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun juga, pendidikan adalah asset terbesar bangsa ini. Indonesia akan menjadi bangsa yang besar ketika akses pendidikan di dapatkan oleh semua rakyat Indonesia dengan mudah dan bermutu.
            Akhir dari semua pilihan adalah menunggu dan menanti kemajuan kebijakan pemerintah dalam pendidikan. Namun dalam masa penantian tersebut, kita – rakyat – menjadi sangat rentan terhadap sikap pragmatis. Oleh karenanya butuh sebuah keberanian dalam membuka cakrawala masyarakat Indonesia. Membuka kotak Pandora pendidikan di Indonesia yang berujung pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Dan semua pihak memiliki peranannya masing-masing.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Naskah Esai Bidang Pendidikan
Finalis Lomba Esai Nasiona iDEA IPB Tahun 2011

Kampus Abrakadabra


Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya, kita selalu dihadapkan pada kondisi dimana sekeliling kita menjadi sangat krisis bahkan terlihat dengan jelas impian-impian yang skeptis. Kita [mahasiswa] sering dikait-kaitkan dengan agent of change, director of change atau bahkan agent of movement yang justru terdengar sangat utopis. Tidaklah usah jauh kita memandang akan negara yang lebih besar dengan problematika yang tak kunjung habis sampai hari ini, bahkan sampai saat ini masih sangat digandrungi untuk terus dibicarakan dan diperdebatkan. Kampus [kita] sebagai bagian yang lekat dengan kepribadian, pembentukan bahkan perjuangan kita nantinya justru luput dari perhatian yang seharusnya berawal dari sinilah perubahan untuk negeri ini.
Belum habis kontroversi akan kampus [konservasi] ini, kedepan kita akan masih dihadapkan pada hal yang serupa, yaitu kemungkinan dan ketidakmungkinan yang kita pertaruhkan dalam memperjuangkan hak pendidikan untuk khalayak. Ya, pendidikan –bukan pendidikan yang murah– di kampus yang katanya hendak menuju kampus taraf internasional. Kesibukan para elitis pemerintahan [mahasiswa] belum menunjukkan signifikansinya yang berarti terhadap kebijakan kampus selama ini. Seolah disibukkan dengan aksi [kunjungan] sana-sini yang pada akhirnya sebagai ajang eksistensi diri di televisi, coba lihat berita demostrasi [mahasiswa] beberapa waktu lalu. Itu baru elitis pemerintahan [mahasiswa], bagaimana dengan elitis [birokrasi] kampus lainnya. Nampaknya terlihat serupa tapi tak sama. [kampus] Kita hanya disibukkan dengan pencitraan, pembangunan fisik –yang tak kunjung teralisasi– bahkan sibuk mencari peluang [dana] dari masuknya gelombang [mahasiswa] baru ke kampus ini.
Bukan hanya elitis [mahasiswa dan birokrasi] saja, bahkan mahasiswa [jelata] juga disibukkan dengan kenikmatan berselancar di dunia [tak] nyata yang didukung dengan fasilitas super canggih, bahkan seringkali [salah] digunakan. Seolah [kampus] ini sihir, semua serba tak nyata, tidak jelas dan hanya ilusi belaka. Semuanya menjauhkan kita [mahasiswa] dari realitas kondisi yang ada. Bukan salah siapa-siapa, [mungkin] salah penulis dalam memandang pandangan [nyata] ini. Walau bagaimanapun juga, penyadaran dari ketidakterbukaan mata dan hati dalam melihat realitas kondisi harus segera dilakukan.

Berawal dari sini
Memang butuh sekelompok orang [mahasiswa] yang benar-benar peduli dan tulus dalam menjadi tulang punggung kampus ini. bagiamanapun kampus tanpa mahasiswa tidak akan pernah ada, tapi sebaliknya mahasiswa tanpa kampus nampaknya akan tetap [ada] menjadi mahasiswa dimanapun berada, karena pola pikir dan pola gerak memperlihatkan konsistensinya dalam berjuang, meskipun [statusnya] bukan sebagai mahasiswa. Masyarakat akan membentuk kepribadiannya, begitupula dengan masyarakat [kampus] ini. Maka semua permasalahan, kejanggalan, ketidakseimbangan bahkan ketidakpastian yang ada dalam kampus ini adalah tanggung jawab semua [rakyat] kampus. Sebab hanya kampus abrakadabra-lah memperjualbelikan ilusi, mimpi kosong tanpa aksi, bahkan kenikmatan yang tak nyata.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Pernah dimuat di Buletin Express Tahun 2011
Buletin Mingguan Mahasiswa UNNES

Destinasi Islam Global


INDONESIA dan Maroko memiliki sejarah panjang yang tak terpisahkan dalam berbagai hikayat catatan sejarah baik di masa perjuangan kemerdekaan bahkan sampai sekarang tetap memiliki cerita sejarahnya yang lekat. Dua negara yang berebeda dalam segala hal tapi memiliki kedekatan yang sangat erat bak saudara kandung. Umur Indonesia yang hampir 66 tahun kemerdekaan dengan 50 tahun hubungan diplomatiknya Indonesia-Maroko mengindikasikan bahwa antara Indonesia dan Maroko memiliki hubungan yang jauh dari sekedar hubungan antara dua negara. Bahkan sejak presiden pertama RI, Soekarno, hingga saat ini, nampaknya Maroko selalu menjadi partner dalam segala bentuk kehidupan bangsa. Pengalam kedua negara tersebut membuktikan bahwa Islam tidak mengalami kebangkrutan dalam hal modernisasi. Terlebih lagi di Indonesia dengan penduduk muslim terbesar dan negara paling demokratis ke tiga membuktikan bahwa Islam meskipun bukan dalam bentuk negara Islam, nilai-nilainya mampu diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Azra (1999) bahwa pengalaman Islam di Indonesia dalam [dua] dasawarsa terakhir membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam tidaklah mengalami kebangkrutan dalam proses modernisasi. Seperti yang diketahui, banyak ahli seperti Donal E.Smith, Robert Bellah atau pakar/pendeta Protestan semacam Harvey Cox berteori bahwa agama akan mengalami kebangkrutan dan tersingkir dalam kehidupan masyarakat yang semakin teknokratis dan impersonal tidak lagi memerlukan agama, dan bahkan harus disingkirkan karena dianggap menghalangi modernisasi.
Memang pengalaman Islam di Indonesia dan Maroko banyak memberikan warna paling tidak bagi perkembangan pemikiran dan kebudayaan seantero dunia. Kalau kemudian kita tarik sejarah hubungan antara kedua negera tersebut yang sudah setengah abad terjalin, disana akan ada peran penting dari Maroko, bukan hanya sebagai sebuah negara yang terkenal dengan sebutan Maghribi-nya tapi lebih dari itu, ternyata Maroko telah menanamkan benih unggulnya di Indonesia sejak pertengahan abad 14 Masehi silam. Kalau kemudian kita tarik benang merah sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia, Maroko memang tidak dapat dipisahkan dari besarnya Islam di negara ini. Berawal ketika itu musafir terkenal Ibnu Battutah melakukan perjalanan panjangnya dari Negeri Matahari Terbenam tersebut menuju Mesir, India, dan kemudian pada akhirnya tiba di Indonesia lebih tepatnya di Kerajaan Samudera Pasai. Kita juga pasti mengenal Walisongo yang berperan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim salah satunya, yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Maghribi berasal dari Maroko.
Nampaknya memang tidak ada alasan untuk tidak menganggap Maroko sebagai Akhun Syaqiq-nya Indonesia. Bahkan kalau ditengok lebih jauh sejarah hubungan Indonesia dan negara tersebut, kita akan banyak menemukan hal-hal yang memang mendukung bahwa Maroko benar-benar saudara kandung kita. Presiden Soekarno bahkan pernah berkunjung ke Maroko sebagai Kepala Negara Pertama yang menginjakkan kakinya di Negeri Al-Maghribi setelah empat tahun kemerdekaan negeri tersebut dari kolonial Perancis.

Pemetaan Dunia Global
            Indonesia dengan segala potensi sumberdaya alamnya yang melimpah serta penduduk muslim terbesar di dunia dengan bentuk negara republik dan Maroko sebagai negara dengan potensi kebudayaan dan sosial yang besar dengan bentuk monarki konstitusional, maka akan sangat dimungkinkan kedua negara tersebut mampu mewarnai perkembangan dunia Internasional. Secara umum memang hubungan yang telah dijalin antara kedua negara tersebut hanya bersifat hubungan diplomatik bilateral, namun kalau ditelisik secara cermat, bukan hanya hubungan bilateral dua negara tapi rencana pembangunan dan pemetaan dunia kedepan nampaknya menjadi salah satu alasan kenapa Indonesia dan Maroko begitu dekat. Kedekatan yang terjadi bukan hanya karena kedekatan antara kepala negara tetapi rakyat Indonesiapun memiliki kedekatan yang khusus dengan rakyat Maroko begitu juga sebaliknya. Mulai dari kebudayaan, sosial masyarakat bahkan sampai adat kebiasaan, terlihat tidak ada kecanggungan antara rakyat Indonesia dengan rakyat Maroko. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, kebudayaan kedua negara yang dipisahkan dengan jarak yang begitu jauh justru menjadi sangat dekat di hati masyarakat kedua negara tersebut.
            Lebih jauh, kalau kita memandang hubungan yang sudah terjalin sejak 50 tahun lalu, ke depan akan mendapatkan banyak tantangan dalam menghadapi perkembangan dunia global. Seolah menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia dan Maroko, hubungan diplomatik yang sudah terjalin itu justru dihadapi sebagai peluang besar dalam menata kembali peta dunia Internasional. Maroko dengan nuansa keislamannya yang tinggi dan Indonesia yang secara kuantitas memiliki kekuatan penduduk muslim terbesar akan menjadi salah satu sorotan dunia ke depan terutama dunia Barat dimana berbegai hipotesa akan kebangkitan Islam menjadi pertimbangan Barat untuk masa-masa selanjutnya. Mengenai akan adanya kebangkitan/revivalisasi Islam tersebut, terdapat suatu pendapat yang sangat mencolok seperti yang dikemukakan oleh Sameul P. Hutington dalam sebuah buknya yang berjudul The Clash of Civilization and The Remaking of World Order mengatakan bahwa akan terjadi suatu benturan peradaban antara Islam dan Barat (baca: Amerika Serikat) setelah perseturuan dan perselisihan ideologi yang sebelumnya antara Barat, yang liberal kapitalis, dengan Komunis yang dianggap diktator otoritarian. Lanjutnya bahwa musuh kedua Barat setelah Komunis runtuh adalah Islam dan konfusianis (baca: Republik Rakyat Cina). Tesisnya mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat didasari oleh beberapa asusmsi dan konflik yang terjadi diataranya sebagai berikut: (1) Term la Guerra fria merupakan istilah yang digunakan oleh orang-oranag Spanyol abad XII untuk melukiskan hubungan yang tidak menyenangkan antara mereka dengan umat Islam Mediteranian, dan pada tahun 19990-an, sebagian orang melihatnya sebagai perang dingin perdaban yang kemudian kembali terulang antara Barat dengan Islam saat ini. Kemudian (2) Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya dua kali yaitu ketika Khilafah Turki Utsmani melemahkan kekuatan Byzantyum dan menaklukan sebagian wilayah Balkan serta Afrika Utara, serta mengepung Konsatatinopel pada tahun 1453, kemudian pada tahun 1529 menyerbu Wina; (3) bahwa 50% dari seluruh penyerangan yang terjadi di berbagai negara antara tahun 1820 sampai dengan 1929 merupakan perang agama antara Islam dan Kristen. Selanjutnya Hatington mengatakan (4) konflik, di satu pihak disebabkan adanya perbedaan konsep dasar Islam, terutama menyangkut pandangan hidup, mentransendensikan dan menyatukan antara agama dan politik versus konsep Kristen yang memisahkan Tuhan dengan Kasiar.
Selanjutnya (5) tingakatan konflik antara Islam dengan Kristen sesanantiasa dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, perubahan teknologi, dan intensitas komitmen keagamaan; (6) selama Islam tetap sebagai Islam, Barat tetap Barat, konflik fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datang sebagimana ia pernah terjadi empat belas abad yang lalu; (6) bahkan selama 15 tahun, antara tahun 1980-1995, menurut Departemen Keamanan AS, Amerika Serikat telah melakukan tujuh belas kali operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya diarahkan untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk operasi militer AS yang demikian itu terhadap peradaba-peradaban lain; dan (6) bagi Barat yang menjadi ganjalan utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan yang mereka yakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.
Maka kemudian dengan melihat secara cermat segala peluang yang ada dalam hubungan diplomatik Indonesia-Maroko, bukan tidak mungkin kedua negara tersebut menjadi harapan akan kebangkitan Islam dalam dunia Internasional. Destinasi Islam global nampaknya sudah sangat jelas dipancarkan dari kedua negara tersebut. Dan pada akhirnya, Islam akan mewarnai peradaban dunia sebagaimana peradaban Islam dahulu yang pernah menjadi center of references dari umat manusia secara umum.



Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
 Naskah Esai Hubungan Diplomatik Indonesia-Maroko Tahun 2011

Gerakan Perubahan: dari Media Sosial ke Negara


Generasi muda sepanjang sejarah menempatkan diri sebagai kelompok yang memiliki peran strategis dalam perubahan, baik secara moral, sosial, politik, maupun kultur. Pergerakan pemuda pada setiap masanya selalu diwarnai dengan berbagai karakter yang menunjukkan pola-pola pergerakan dan atau perubahan yang diusung kepada khalayak. Mulai dari yang konvensional sampai yang paling modern, dari yang berdampak lokal sampai mendunia. Generasi muda dalam gerakan perubahannya bukan hanya mengusung isu tanpa solusi tapi juga memberikan solusi kritis atas permasalahan yang dihadapi. Bahkan Amin Sudarsono (2010) menegaskan bahwa dalam kesejarahan Indonesia dan sebagian besar negara di dunia, inetelektulitas tampaknya menjadi standar ide-ide perubahan, dan menjadi parameter bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin perubahan.[1]

Hal yang menjadi tuntutan besar dan motif pengusungan gerakan perubahan oleh generasi muda adalah ketidakseimbangan kondisi sosial di masyarakat baik yang disebabkan oleh elemen-elemen masyarakat tertentu atau bahkan pemerintah. Pada sisi yang sama pula, gerakan pemuda bermetamorfosa ke dalam bentuk-bentuk yang lebih elegan dan komunikatif tanpa menghilangkan unsur provokatif dan persuasif. Kalaulah dahulu gerakan pemuda menggulingkan tirani Soekarno atau bahkan Orde Baru yang merezim dengan berbagai bentuk aksi demostrasi yang berakhir pada singgungan fisik antara pemerintah dan rakyat yang dalam hal ini pemuda. Namun kini, sebuah pengusungan perubahan, ide-ide yang membakar semangat bisa lebih cepat menyebar dan merasuk ke semua elemen masyarakat melalui berbagai social media yang pada akhirnya masyarakat secara sukarela tersadarkan dan tergerak ke dalam bentuk perubahan yang lebih nyata. Tentu kita masih mengingat bagaimana rezim Muammar Khadafi di Libya dilengserkan oleh gerakan perubahan yang diusung masyarakat, atau bahkan Revolusi Mesir belum lama ini yang dimulai dari gerakan bawah tanah melalui dunia maya yang justru memberikan dampak luas bagi rakyat Mesir itu sendiri. Bukankah telah terbukti, bahwa sejatinya arus kekuatan rakyat (people power) tidak bisa dibendung dengan cara apapun bahkan dengan intimidasi sekalipun.

Adalah satu hal tidak bisa terbantahkan bahwa media informasi yang semakin luas dan bisa diakses oleh semua elemen masyarakat memberikan dampak yang signifikan pada setiap sektor masyarakat. Bahkan gerakan-gerakan perubahan sosial yang selama ini terjadi bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya tidak terlepas dari peran media informasi dan komunikasi. Memang sekarang ini, tidak ada lagi kata sendiri dalam perubahan dan juga tidak untuk rasa takut. Sebab kemudahan akses informasi komunikasi memberikan setiap individu ruang yang seluas-luasnya untuk memberikan ide-ide segar mereka bahkan ide yang paling ekstrim sekalipun dalam proses perubahan masyarakat. Bagaimana bisa seorang Prita Mulyani menjadi insiprasi gerakan yang meng-Indonesia dalam membentuk aksi solidaritas kemanusiaan? Atau bagaimana mungkin seorang SBY sering sekali cemas dan mengeluh terkait berbagai pemberitaan tentang dirinya pada berbagai media termasuk media sosial. Hal tersebut dimungkinkan terjadi bahkan masih banyak hal dan peristiwa yang mungkin terjadi akibat gerakan perubahan sosial yang diusung oleh generasi-generasi muda melalui berbagai media sosial yang ada


Propaganda Persuasif Pemuda

            Kita selalu mengidentikkan propaganda dengan sesuatu yang lekat dengan aksi demostrasi dan gerakan perubahan. Memang tidak salah, sebab propaganda adalah salah satu bentuk dari sekian banyaknya bentuk bagian-bagian pendukung pada proses perubahan sosial. Propangare[2]secara harfiyah merujuk pada cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memperoduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan pemaknaan lain bisa dikatakan bahwa propaganda adalah mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas). Maka apa yang dilakukan oleh Prita Mulyasari dalam gerakan perubahan adalah salah satu teknik untuk mengembangkan atau memekarkan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengannya yang berbeda tempat, ruang dan waktu sehingga mampu memunculkan atau menghidupkan benih-benih baru pada berbagai situasi di kemudian hari. Dan ternyata benar, Prita Mulyasari berhasil membuka kesadaran masyarakat atas ketidakadilan yang diterimanya dan bahkan mampu mengorganisir beberapa kelompok masyarakat yang memiliki nasib yang sama dalam bentuk gerakan yang lebih terarah dan dinamis.

Harold D. Laswell (1937) menegaskan bahwa propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi manusia dengan memanipulasi representasinya. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Prita Mulyasari atau Pemuda Mesir dalam Revolusi Mesir sebagai bentuk cara bagaimana untuk mempengaruhi kelompok masyarakat lainnya sehingga mampu memberikan dampak yang signifikan bukan hanya untuk kelompoknya tapi untuk seluruh masyarakat pada umumnya. Sebenarnya, yang melatarbelakangi gerakan-gerakan perubahan baik sejenis Prita atau Revolusi Mesir adalah adanya hasil dari proses interaksi antar individu yang memberikan sinyalemen ketidakseimbangan dalam kondisi masyarakat yang akhirnya mengarah pada satu opini publik tertentu. Hal ini tentunya membuat kita berpikir bahwa sejatinya gerakan-gerakan nonformal (seperti melalui media sosial: blog, facebook, atau twitter) justru lebih memberikan efek yang luas dibandingkan gerakan yang terbentuk dalam badan lembaga tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh William Albiq (Santos Sastropoetro, 1990) bahwa opini publik adalah suatu jumlah dari pendapat-pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu publik.

Kemudian, apa yang diupayakan oleh gerakan pemuda dalam bentuk propaganda bisa dikatakan sebagai bentuk rekayasa sosial yang meliputi sebuah proses perencanaan, pemetaan dan pelaksanaan dalam konteks perubahan struktur dan kultur sebuah basis sosial masyarakat. Maka perubahan sosial ini dimaknai sebagai perbedaan antara kondisi sekarang dan kondisi sebelumnya terhadap aspek-aspek dari struktur sosial.[3] Revolusi adalah salah satu bentuknya, sebagaimana pernah diupayakan oleh pemuda Mesir yang berakhir pada perubahan struktur sosial masyarakat Mesir secara singkat. Memang revolusi selalu menggunakan cara cepat, cukup beresiko, dilakukan secara reaktif dan terkesan sporadis. Tentunya hal tersebut sejalan dengan semangat perubahan yang diusung generasi muda. Berikan Aku sepuluh orang pemuda maka akan Aku goncangkan dunia, kata Bung Karno yang kemudian selalu menginspirasi gerakan pemuda nasionalis dalam berbagai gerakan perubahannya.[4]



Dari Media Sosial Ke Negara

Facebook, twitter, blog, atau bahkan mailing list kini menjadi media-media sosial yang memberikan berbagai pencerahan pada masyarakat. Banyak ide-ide dan semangat pemuda yang dikobarkan dan disebarkan melalui media tersebut. Memang, kemudahan akses informasi memberikan dampak yang luas dan sporadis begitupula dengan penyampaian ide-ide, kritik, atau bahkan keluhan melalui media-media sosial tersebut. Kita mungkin pernah mendengar istilah blogblower sebagai sebutan untuk para blogger yang berani mengungkapkan semua kejadian di masyarakat baik berupa pengungkapan fakta kasus atau kritik peristiwa. Dan memang, cara-cara seperti itu dinilai efektif dalam pengusungan perubahan masa kini.

Perubahan sosial pada masa-masa sebelum kemunculan teknologi informasi yang canggih dan pesat, selalu diwarnai oleh berbagai praduga yang mengarah pada kepentingan kalangan elit tertentu. Spirit muda sering ditandai dengan berbagai eksklusivitas tanpa sadar. Dalam banyak perbincangan biasanya mereka mengeindetifikasikan diri dengan peran awal para pendiri negara ini yang memulai debut politik mereka sebagai kaum muda. Sisi lain yang tidak bisa dipungkiri adalah fakta bahwa gerakan kaum muda merupakan representasi kelompok elit dari kalangan menengah (middle class) di struktur sosial masyarakat.[5] Kendati demikian, gerakan perubahan pemuda selalu memberikan kesan yang membekas pada masyarakat dan pemerintah.

Gerakan yang dimulai melalui media-media sosial seperti facebook, twitter, maling list, atau blog tidak lagi terlokalisasi dalam bentuk gerakan regional berskala kecil saja melainkan sudah merambah kepada isu-isu kritis terhadap pemerintah dan keinginan untuk bebas dari ketidakadilan rezim. Pada titik inilah, titik dimana gerakan muda tidak lagi terbatas pada isu lokal, memiliki sebuah kesempatan atas kekuasaan gerakan rakyat. Kekuasaan yang dimaknai oleh Budiardjo (2002)[6] sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Oleh karenanya, gerakan pemuda membingkai movement mereka dengan bentuk-bentuk kekinian dengan pemanfaatan media sosial secara masif. Maka perubahan sosial, dari media sosial ke negara akan selalu mengalami metamorfosa ke dalam bentuk-bentuk yang lebih baru, elegan dan semakin persuasif.






Ridwan Arifin
ridwanarifin89@ymail.com
Essay for Indonesian Young Netizen Day (IYND) 2011




Catatan Kaki




[1] Amin Sudarsono, Kata Pengantar dalam “Ijtihad Mmbangun Basis Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm xii.

[2]  Edo Segara, “Humas Gerakan Membangun Citra Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm.  43.

[3]   Amin Sudarsono, “Ijtihad Mmbangun Basis Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm 87-88.

[4]   Salah satu ungkapan Mantan Perseiden Soekarno dalam membangkitkan semangat pemuda Indonesia pada masa penjajahan dan kemerdekaan. Ungkapan ini selalu menjadi dalil ‘pembenaran’ bagi pemuda Indonesia bahwa mereka memiliki peran penting dan strategis dalam perubahan masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan sikap elitis pragmatis dalam gerakannya.


[5]  Amin Sudarsono, Epilog dalam “Ijtihad Mmbangun Basis Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm 213.

[6]  Miriam Buduarho, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT Gramedia, 2002. Hlm. 35.