Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia

Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.

Kebangkitan Muslim

Islam bukan hanya sebagai sebuah agama yang lekat dan sarat akan aktivitas ritual keagamaannya, tapi lebih dari itu, Islam adalah konsep hidup bukan hanya bagi umat Islam itu sendiri tapi bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Islam datang dan diperuntukkan sebagai rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam yang meliputi seluruh umat dan kehidupan.

LEARNED FROM SUPER SIC

Konteks Indonesia, keberanian Simonceli memberikan sebuah pencerahan betapa keberanian pada akhirnya membutuhkan pengorbanan, bukan untuk kesuksesan tapi untuk dedikasi.

RAKYAT MENGGUGAT

Generasi muda sepanjang sejarah menempatkan diri sebagai kelompok yang memiliki peran strategis dalam perubahan, baik secara moral, sosial, politik, maupun kultur.

PAHLAWAN PADAMU KAMI MENGADU

Pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, membebaskan rakyat dari ketidakberdayaan, melepaskan rakyat dari penjajahan, dan menyadarkan rakyat akan identitas bangsanya.

Senin, 19 Maret 2012

KENAIKAN BBM: CERMINAN STALINISME MASA KINI

STALIN, siapa yang tidak mengenalnya sebagai orang yang keji dan kejam. Tapi hanya sedikit cerita detail mengenainya, salah satu yang cukup lengkap adalah kajian Dr. Medvedev. Objektivitas sebagai seorang sejarahwan dan tentunya jujur dan tajam dalam berbagai informasi dikumpulkan dari berbagai korban tiran Stalin, Medvedev memperkirakan lebih dari 20 juta orang mati karena kekejian Stalin. Dalam Membangun sosialisme dalam satu negara Stalin tanpa ragu menggunakan mekanisme teror. Bahkan Stalin telah melakukan kejahatan yang tidak ada padanannya di dunia, bahkan hingga sekarang.
Memang kita tidak bisa mengaitkan kekejaman Stalin dalam membangun negara sosialisnya dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tapi antara Stalin dan Pemerintah, ada benang merah yang sering kita temukan, diakui atau tidak, kedua sama-sama menggunakan mekanisme teror dalam membangun suatu negara. Sejak kejatuhan era Soekarno, teror menjadi pilihan tepat untuk mengontrol dan membatasi pola gerak rakyat (people power), meskipun di satu waktu people power ini bisa membuncah, tak terduga. Bedanya, teror yang dilakukan oleh Stalin  berbentuk fisik, tapi untuk saat ini, kita menghadapi teror yang melebihi kekejaman teror fisik, yaitu teror wacana, teror melalui pembodohan dan pemiskinan, yang justru seringkali kita tidak sadar bahwa kita tengah diteror.
Rencana kenaikan BBM oleh  pemerintah adalah salah satu bentuk teror yang diluncurkan. Sebab, dampak dari teror ini akan sangat menyakitkan, menyulitkan, dan memiskinkan. Meminjam istilah Revrisond Baswir (2004), pemerintah tengah mengadakana upaya yang disebut “pemiskinan struktural” dan “pemiskinan kultural”. Ya, saya sangat sepakat, dan tentunya kita sepakat bukan? Bahwa benar, teror itu sedang terjadi. Pemerintah seperti belum belajar dari pengalaman dinamika rakyat pada periode sebelum-sebelumnya. Dimana rencana kenaikan BBM yang tentunya tidak populis dan bahkan sangat membuat ‘miris’ selalu saja memicu konflik sosial pasca itu. Salah satu konflik sosial dari naiknya harga BBM dan TDL adalah gejolak PHK. Sebagaimana data yang dilansir Kompas Mahasiswa Edisi 83 Mei 2010, bahwa angka PHK melonjak tajam  pada tahun 2007 sekitar 11.714-an (di Jawa Tengah) dikarenakan kenaikan harga BBM.
Kini, sudah dapat dipastikan April mendatang, harga bahan bakar minya (BBM) akan naik. Tentunya akan disusul kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Terhitung sejak jauhnya pemerintah Soekarno dan masuknya kapitalis liberal di era tahun 1967-an, BBM telah naik 27 kali. Rencana pemerintah SBY menaikkan BBM menjadi kenaikan ke-28 dalam sejarah Indonesia. Menyikapi rencana tersebut tentu kita serentak menolak. Tapi penolakan seperti apa yang bisa dilakukan mengingat nasi sudah menjadi bubur, topi sudah diangkat, dan keputusan sudah diambil oleh pemerintah untuk menaikkan BBM. Kita sebagai warganegara sudah sepatutnya mencurigai. Ya, curiga atas setiap keputusan yang diambil sambil mengawasi pola gerak pemerintah pasca kenaikan BBM ini. Sebab bukan tidak mungkin anggaran pemangkasan subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM justru lari ke invisible boxes dengan melihat konteslasi politik Indonesia yang semakin memanas untuk pemilu mendatang. Sebab aset sumberdaya layaknya menjadi prioritas utama untuk diperuntukkan dalam mensejahterakan rakyat.
Dan benarlah apa yang pernah diperjuangkan Hasan Al-Bana, bahwa pengamanan dan pengelolaan sumber daya dan aset negara secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat adalah tujuan mengapa rakyat seharusnya berdaulat atas negerinya. Terbukti ketika rakyat kita tidak lagi bisa menikmati sumber daya maka kesengsaraan, angka kemiskinan yang tinggi, kelaparan dan konflik sosial yang justru terjadi di negeri ini. Mau bukti? Tengoklah sekitar Anda, perhatikanlah sekitar kita, maka kita tidak akan sulit menemukan potret kemiskinan dan kesengsaraan itu.



*Kadep Humas KAMMI
Komisariat Unnes
Pegiat Komunitas Ilalang Indonesia
ridwanarifin89@ymail.com

Minggu, 25 Desember 2011

Andai Saya, Kamu, Dia, Kita, Mereka, dan Kalian Menjadi Anggota DPD RI

MELIHAT peristiwa yang terjadi di negeri ini belakang ini agak membuat merinding. Bagaimana tidak, berbagai aksi kekejaman banyak terjadi secara sporadis di berbagai daerah, mulai dari kasus kerusuhan antar warga di Jakarta, konflik di Palu, berbagai aksi bom bunuh diri, aksi pembakaran diri, mutilasi, pemerkosaan, bahkan sampai pembantaian dan pembunuhan di Mesuji Lampung cukup membuktikan bahwa negeri ini tengah mengalami krisis di berbagai sektor.
            Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat lain, atau antara masyarakat dengan pemerintah dan atau pemiliki saham usaha semestinya tidak harus terjadi jika terdapat ruang komunikasi, dialog, dan juga aspirasi. Tapi yang terjadi justru masyarakat semakin hari semakin benci terhadap pemerintah karena kegagalannya dalam merealisasikan suara-suara yang diaspirasikan rakyat dan juga pemerintah semakin ‘beringas’ menghadapi rakyat yang semakin hari semakin ‘tak bisa dikendalikan’. Satu sisi pemerintah menganggap rakyat dalam beberapa hal menjadi ancaman, begitu juga pandangan rakyat terhadap pemerintah.

Anggota Dewan yang Negarawan Bukan Partisan

KATA Jhon F. Kennedy beberapa tahun silam bahwa my loyalty to my party ends when my loyalty to my country comes—loyalitas saya pada partai saya berakhir saat loyalitas saya terhadap negara datang. Paling tidak ungkapan ini menyiratkan sebuah loyalitas pengabdian pada masyarakat yang lebih luas. Agaknya benar memang apa yang diungkapkan oleh Mantan Presiden Amerika tersebut. Saat panggilan atas nama rakyat, panggilan sebagai wakil Tuhan, maka simbol-simbol golongan, partai ataupun kelompok sudah seharusnya hilang dan digantikan dengan simbol rakyat.

Minggu, 13 November 2011

Nasionalisasi Pahlawan Indonesia


Pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, membebaskan rakyat dari ketidakberdayaan, melepaskan rakyat dari penjajahan, dan menyadarkan rakyat akan identitas bangsanya. Maka jika pemaknaan pahlawan yang demikian, kita dapat mengatakan bahwa Presiden adalah pahlawan, Polisi adalah pahlawan, Guru adalah pahlawan, Menteri adalah Pahlawan, Aktivis adalah pahlawan, sebab mereka adalah orang-orang yang berjuang sepenuh jiwa raga untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan dan membebaskan rakyat dari berbagai upaya pembodohan dan kita menyebutnya pahlawan dalam makna yang sempit.
Hal ini akan menjadi sangat ironis saat kita mendengar berita bahwa rakyat justru merasa terancam dengen keberadaan aparat negara. Atau ketika kita melihat aksi demonstrasi besar-besaran tiap kali Presiden dan atau Wapres kita mengunjungi daerah-daerah tertentu. Berbeda jauh beberapa tahun lalu saat pahlawan Indonesia ditunggu kehadirannya, disambut kedatangannya, dan dihargai dengan penghargaan yang besar. Pahlawan yang dibicarakan kali ini adalah pahlawan dalam arti sempit, bukan mereka (pahlawan) yang namanya tersemat gelar kepahlawanan nasional. Dengan membandingkan pahlawan dalam artian yang sebenarnya, seharusnya pahlawan kita saat ini memiliki beberapa karakter kepahlawanan salah satunya adalah berjuang untuk rakyat. Hal tersebut berimplikasi pada dunia visi dan dunia aksi seorang pahlawan harus berada dalam kerangka prorakyat. Apapun yang dipikirkan dan apa-apa saja yang diusahakan harus bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat.
Jika kemudian pahlawan kita dulu sedikit sekali memikirkan pribadinya atau bahkan keluarganya, sehingga begitu dicintai oleh rakyat dan bahkan tanpa pengakuan sekalipun mereka disebut-sebut sebagai pahlawan. Tapi sayang bukan kepalang, melihat kondisi fakta di lapangan bahwa pahlawan kita saat ini justru jauh dari paradigma prorakyat. Kebutuhan akan ekonomi dan tendensi politik praktik golongan tertentu mendorong pahlawan-pahlwan kita ‘menjual’ rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka bahkan ke pihak asing. Independensi pahlawan kita sekarang masih dipengaruhi oleh ‘sogokan’ politik, ekonomi, bahkan pertahanan sehingga tak heran banyak kebijakan-kebijakan yang diambil justru tidak prorakyat. Kita bisa menerka seberapa jauh pengaruh asing terhadap ekonomi kita, atau seberapa besar ‘titipan dan paksaan’ pihak asing terhadap kurikulum pendidikan anak bangsa.
Tuntutan untuk menasionalisasi industry yang ada di Indonesia selalu menjadi rumor yang diangkat, tapi justru sekarang kita harus mengusulkan upaya untuk menasionalisasi pahlawan Indonesia itu sendiri. Dengan berbagai sebab, nasionalisasi pahlawan Indonesia menjadi penting sebab pahlawan kita justru bukan lagi menjadi pejuang rakyat sendiri tapi menjadi pejuang untuk ekonomi kapitalis, dan pejuang kepentingan para koorporat asing. Perselisihan antara rakyat dengan PT Freeport di Papua yang juga melibatkan Polri yang seharusnya menjaga dan mengayomi rakyat justru menjadi ‘anjing penjaga’ koorporat yang jelas-jelas ‘menjajah’ rakyat adalah bukti nyata bahwa pahlawan kita perlu dinasionalisasi. Agar kemudian, pahlawan kita menjadi pahlawan milik rakyat, miliki Indonesia, bukan milik pihak pemegang modal, uang, atau kekuasaan.

ridwanarifin80@ymail.
Refleksi Hari Pahlawan Nasional
10 November 2011