Sabtu, 05 November 2011

Destinasi Islam Global


INDONESIA dan Maroko memiliki sejarah panjang yang tak terpisahkan dalam berbagai hikayat catatan sejarah baik di masa perjuangan kemerdekaan bahkan sampai sekarang tetap memiliki cerita sejarahnya yang lekat. Dua negara yang berebeda dalam segala hal tapi memiliki kedekatan yang sangat erat bak saudara kandung. Umur Indonesia yang hampir 66 tahun kemerdekaan dengan 50 tahun hubungan diplomatiknya Indonesia-Maroko mengindikasikan bahwa antara Indonesia dan Maroko memiliki hubungan yang jauh dari sekedar hubungan antara dua negara. Bahkan sejak presiden pertama RI, Soekarno, hingga saat ini, nampaknya Maroko selalu menjadi partner dalam segala bentuk kehidupan bangsa. Pengalam kedua negara tersebut membuktikan bahwa Islam tidak mengalami kebangkrutan dalam hal modernisasi. Terlebih lagi di Indonesia dengan penduduk muslim terbesar dan negara paling demokratis ke tiga membuktikan bahwa Islam meskipun bukan dalam bentuk negara Islam, nilai-nilainya mampu diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Azra (1999) bahwa pengalaman Islam di Indonesia dalam [dua] dasawarsa terakhir membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam tidaklah mengalami kebangkrutan dalam proses modernisasi. Seperti yang diketahui, banyak ahli seperti Donal E.Smith, Robert Bellah atau pakar/pendeta Protestan semacam Harvey Cox berteori bahwa agama akan mengalami kebangkrutan dan tersingkir dalam kehidupan masyarakat yang semakin teknokratis dan impersonal tidak lagi memerlukan agama, dan bahkan harus disingkirkan karena dianggap menghalangi modernisasi.
Memang pengalaman Islam di Indonesia dan Maroko banyak memberikan warna paling tidak bagi perkembangan pemikiran dan kebudayaan seantero dunia. Kalau kemudian kita tarik sejarah hubungan antara kedua negera tersebut yang sudah setengah abad terjalin, disana akan ada peran penting dari Maroko, bukan hanya sebagai sebuah negara yang terkenal dengan sebutan Maghribi-nya tapi lebih dari itu, ternyata Maroko telah menanamkan benih unggulnya di Indonesia sejak pertengahan abad 14 Masehi silam. Kalau kemudian kita tarik benang merah sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia, Maroko memang tidak dapat dipisahkan dari besarnya Islam di negara ini. Berawal ketika itu musafir terkenal Ibnu Battutah melakukan perjalanan panjangnya dari Negeri Matahari Terbenam tersebut menuju Mesir, India, dan kemudian pada akhirnya tiba di Indonesia lebih tepatnya di Kerajaan Samudera Pasai. Kita juga pasti mengenal Walisongo yang berperan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim salah satunya, yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Maghribi berasal dari Maroko.
Nampaknya memang tidak ada alasan untuk tidak menganggap Maroko sebagai Akhun Syaqiq-nya Indonesia. Bahkan kalau ditengok lebih jauh sejarah hubungan Indonesia dan negara tersebut, kita akan banyak menemukan hal-hal yang memang mendukung bahwa Maroko benar-benar saudara kandung kita. Presiden Soekarno bahkan pernah berkunjung ke Maroko sebagai Kepala Negara Pertama yang menginjakkan kakinya di Negeri Al-Maghribi setelah empat tahun kemerdekaan negeri tersebut dari kolonial Perancis.

Pemetaan Dunia Global
            Indonesia dengan segala potensi sumberdaya alamnya yang melimpah serta penduduk muslim terbesar di dunia dengan bentuk negara republik dan Maroko sebagai negara dengan potensi kebudayaan dan sosial yang besar dengan bentuk monarki konstitusional, maka akan sangat dimungkinkan kedua negara tersebut mampu mewarnai perkembangan dunia Internasional. Secara umum memang hubungan yang telah dijalin antara kedua negara tersebut hanya bersifat hubungan diplomatik bilateral, namun kalau ditelisik secara cermat, bukan hanya hubungan bilateral dua negara tapi rencana pembangunan dan pemetaan dunia kedepan nampaknya menjadi salah satu alasan kenapa Indonesia dan Maroko begitu dekat. Kedekatan yang terjadi bukan hanya karena kedekatan antara kepala negara tetapi rakyat Indonesiapun memiliki kedekatan yang khusus dengan rakyat Maroko begitu juga sebaliknya. Mulai dari kebudayaan, sosial masyarakat bahkan sampai adat kebiasaan, terlihat tidak ada kecanggungan antara rakyat Indonesia dengan rakyat Maroko. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, kebudayaan kedua negara yang dipisahkan dengan jarak yang begitu jauh justru menjadi sangat dekat di hati masyarakat kedua negara tersebut.
            Lebih jauh, kalau kita memandang hubungan yang sudah terjalin sejak 50 tahun lalu, ke depan akan mendapatkan banyak tantangan dalam menghadapi perkembangan dunia global. Seolah menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia dan Maroko, hubungan diplomatik yang sudah terjalin itu justru dihadapi sebagai peluang besar dalam menata kembali peta dunia Internasional. Maroko dengan nuansa keislamannya yang tinggi dan Indonesia yang secara kuantitas memiliki kekuatan penduduk muslim terbesar akan menjadi salah satu sorotan dunia ke depan terutama dunia Barat dimana berbegai hipotesa akan kebangkitan Islam menjadi pertimbangan Barat untuk masa-masa selanjutnya. Mengenai akan adanya kebangkitan/revivalisasi Islam tersebut, terdapat suatu pendapat yang sangat mencolok seperti yang dikemukakan oleh Sameul P. Hutington dalam sebuah buknya yang berjudul The Clash of Civilization and The Remaking of World Order mengatakan bahwa akan terjadi suatu benturan peradaban antara Islam dan Barat (baca: Amerika Serikat) setelah perseturuan dan perselisihan ideologi yang sebelumnya antara Barat, yang liberal kapitalis, dengan Komunis yang dianggap diktator otoritarian. Lanjutnya bahwa musuh kedua Barat setelah Komunis runtuh adalah Islam dan konfusianis (baca: Republik Rakyat Cina). Tesisnya mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat didasari oleh beberapa asusmsi dan konflik yang terjadi diataranya sebagai berikut: (1) Term la Guerra fria merupakan istilah yang digunakan oleh orang-oranag Spanyol abad XII untuk melukiskan hubungan yang tidak menyenangkan antara mereka dengan umat Islam Mediteranian, dan pada tahun 19990-an, sebagian orang melihatnya sebagai perang dingin perdaban yang kemudian kembali terulang antara Barat dengan Islam saat ini. Kemudian (2) Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya dua kali yaitu ketika Khilafah Turki Utsmani melemahkan kekuatan Byzantyum dan menaklukan sebagian wilayah Balkan serta Afrika Utara, serta mengepung Konsatatinopel pada tahun 1453, kemudian pada tahun 1529 menyerbu Wina; (3) bahwa 50% dari seluruh penyerangan yang terjadi di berbagai negara antara tahun 1820 sampai dengan 1929 merupakan perang agama antara Islam dan Kristen. Selanjutnya Hatington mengatakan (4) konflik, di satu pihak disebabkan adanya perbedaan konsep dasar Islam, terutama menyangkut pandangan hidup, mentransendensikan dan menyatukan antara agama dan politik versus konsep Kristen yang memisahkan Tuhan dengan Kasiar.
Selanjutnya (5) tingakatan konflik antara Islam dengan Kristen sesanantiasa dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, perubahan teknologi, dan intensitas komitmen keagamaan; (6) selama Islam tetap sebagai Islam, Barat tetap Barat, konflik fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datang sebagimana ia pernah terjadi empat belas abad yang lalu; (6) bahkan selama 15 tahun, antara tahun 1980-1995, menurut Departemen Keamanan AS, Amerika Serikat telah melakukan tujuh belas kali operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya diarahkan untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk operasi militer AS yang demikian itu terhadap peradaba-peradaban lain; dan (6) bagi Barat yang menjadi ganjalan utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan yang mereka yakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.
Maka kemudian dengan melihat secara cermat segala peluang yang ada dalam hubungan diplomatik Indonesia-Maroko, bukan tidak mungkin kedua negara tersebut menjadi harapan akan kebangkitan Islam dalam dunia Internasional. Destinasi Islam global nampaknya sudah sangat jelas dipancarkan dari kedua negara tersebut. Dan pada akhirnya, Islam akan mewarnai peradaban dunia sebagaimana peradaban Islam dahulu yang pernah menjadi center of references dari umat manusia secara umum.



Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
 Naskah Esai Hubungan Diplomatik Indonesia-Maroko Tahun 2011

0 komentar:

Posting Komentar