Sabtu, 05 November 2011

Kampus Abrakadabra


Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya, kita selalu dihadapkan pada kondisi dimana sekeliling kita menjadi sangat krisis bahkan terlihat dengan jelas impian-impian yang skeptis. Kita [mahasiswa] sering dikait-kaitkan dengan agent of change, director of change atau bahkan agent of movement yang justru terdengar sangat utopis. Tidaklah usah jauh kita memandang akan negara yang lebih besar dengan problematika yang tak kunjung habis sampai hari ini, bahkan sampai saat ini masih sangat digandrungi untuk terus dibicarakan dan diperdebatkan. Kampus [kita] sebagai bagian yang lekat dengan kepribadian, pembentukan bahkan perjuangan kita nantinya justru luput dari perhatian yang seharusnya berawal dari sinilah perubahan untuk negeri ini.
Belum habis kontroversi akan kampus [konservasi] ini, kedepan kita akan masih dihadapkan pada hal yang serupa, yaitu kemungkinan dan ketidakmungkinan yang kita pertaruhkan dalam memperjuangkan hak pendidikan untuk khalayak. Ya, pendidikan –bukan pendidikan yang murah– di kampus yang katanya hendak menuju kampus taraf internasional. Kesibukan para elitis pemerintahan [mahasiswa] belum menunjukkan signifikansinya yang berarti terhadap kebijakan kampus selama ini. Seolah disibukkan dengan aksi [kunjungan] sana-sini yang pada akhirnya sebagai ajang eksistensi diri di televisi, coba lihat berita demostrasi [mahasiswa] beberapa waktu lalu. Itu baru elitis pemerintahan [mahasiswa], bagaimana dengan elitis [birokrasi] kampus lainnya. Nampaknya terlihat serupa tapi tak sama. [kampus] Kita hanya disibukkan dengan pencitraan, pembangunan fisik –yang tak kunjung teralisasi– bahkan sibuk mencari peluang [dana] dari masuknya gelombang [mahasiswa] baru ke kampus ini.
Bukan hanya elitis [mahasiswa dan birokrasi] saja, bahkan mahasiswa [jelata] juga disibukkan dengan kenikmatan berselancar di dunia [tak] nyata yang didukung dengan fasilitas super canggih, bahkan seringkali [salah] digunakan. Seolah [kampus] ini sihir, semua serba tak nyata, tidak jelas dan hanya ilusi belaka. Semuanya menjauhkan kita [mahasiswa] dari realitas kondisi yang ada. Bukan salah siapa-siapa, [mungkin] salah penulis dalam memandang pandangan [nyata] ini. Walau bagaimanapun juga, penyadaran dari ketidakterbukaan mata dan hati dalam melihat realitas kondisi harus segera dilakukan.

Berawal dari sini
Memang butuh sekelompok orang [mahasiswa] yang benar-benar peduli dan tulus dalam menjadi tulang punggung kampus ini. bagiamanapun kampus tanpa mahasiswa tidak akan pernah ada, tapi sebaliknya mahasiswa tanpa kampus nampaknya akan tetap [ada] menjadi mahasiswa dimanapun berada, karena pola pikir dan pola gerak memperlihatkan konsistensinya dalam berjuang, meskipun [statusnya] bukan sebagai mahasiswa. Masyarakat akan membentuk kepribadiannya, begitupula dengan masyarakat [kampus] ini. Maka semua permasalahan, kejanggalan, ketidakseimbangan bahkan ketidakpastian yang ada dalam kampus ini adalah tanggung jawab semua [rakyat] kampus. Sebab hanya kampus abrakadabra-lah memperjualbelikan ilusi, mimpi kosong tanpa aksi, bahkan kenikmatan yang tak nyata.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Pernah dimuat di Buletin Express Tahun 2011
Buletin Mingguan Mahasiswa UNNES

0 komentar:

Posting Komentar