Sabtu, 05 November 2011

Korupsi Mahasiswa: Ironi di Tengah Peperangan


KORUPSI nampaknya sudah benar-benar menjangkiti semua lapisan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit orang yang menstratifikasi tindak pidana korupsi ke dalam extra ordinary crime. Memang tidak salah dan barangkali sangat benar. Bagaimana tidak benar, nyata-nyata korupsi telah merusak tak hanya perekonomian negara, tapi juga sosial budaya, pendidikan, pertahanan, bahkan hukum dan HAM pun dirusak olehnya. Menurut data Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2008 adalah 2,6 menempati urutan ke-126 dari 180 negara. Mendengar kata “korupsi” pastilah semua orang bersepakat untuk memberantasnya. Tak terkecuali kalangan akademisi atau bahkan aktifis mahasiswa, yang sangat gencar dan giat menyuarakan perang melawan korupsi. Tapi di sini ada sebuah ironi di tengah peperangan yang tengah dilakukan terhadap extra ordinary crime tersebut. Di satu sisi kita berteriak sekencang-kencangnya, menyatakan perang terhadap korupsi, tapi di sisi lain justru disadari atau tidak kita telah melakukan praktik-praktik korupsi “ala mahasiswa”. Memang definisi korupsi yang sebagimana kita pahami adalah korupsi yang sebatas hal yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara, sebagaimana pada pasal  3 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan dengan sangat gamblang definisi korupsi yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
            Memang belum banyak mendapat sorotan apalagi perhatian seirus akan kondisi dan fenomena korupsi di kalangan mahasiswa. Nampaknya korupsi di kalangan mahasiswa sudah menjadi hal yang lumrah dan dimaklumi. Disadari atau tidak kita semua terjebak dalam kondisi dimana korupsi dalam konteks mahasiswa menjadi suatu hal yang bias dan samar-samar. Sampai-sampai banyak pihak beranggapan bahwa ini sah-sah saja dan wajar-wajar saja. Meskipun demikian, jika melihat konteks definisi korupsi sebagaimana yang didefinisikan dalam UU Tipikor, korupsi yang dilakukan mahasiswa belum dapat dikatakan suatu hal yang merugikan negara atau keuangan negara, tapi disana ada maksud dan tujuan yang jelas yaitu untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau sarana. Jelas sekali hal ini merupakan sesuatu hal yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Kalau saja ada KPK versi mahasiswa, pasti sudah banyak koruptor-koruptor mahasiswa yang tertangkap dan diadili.
Berbicara mengenai korupsi di kalangan mahasiswa, maka bukanlah salah mahasiswa sepenuhnya.  Belajar dari pengalaman, bahwa sistem menjadi hal terpenting dan paling berpengaruh dalam pembentukan karakter mahasiswa. Kita tidak bisa menafikan praktik-praktik mark up atau penggelembungan dana-dana kegiatan, atau bahkan manipulasi laporan kegiatan dengan maksud mendapatkan dana yang lebih. Kalau selama ini dalam percaturan penegakkan hukum di Indonesia kita sering sekali mendengar istilah “Markus” atau Makelar Kasus, maka tak salah jika kita juga menyebut peristilah atas fenomena korupsi di mahasiswa dengan “Martan” atau Makelar Kegiatan. Banyak sekali mahasiswa atau bahkan aktifis mahasiswa yang terlibat di lembaga kemahasiswaan, mulai dari tingkat jurusan sampai universitas menjadi makelar-makelar kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan disana terjadi praktik-praktik mark up pendanaan, sehingga tak jarang ada orang yang mengambil keuntungan dari hal tersebut. Selama ini bukan akuntabilitas subtantif yang kita ke depankan tapi akuntabilitas prosedural lah yang kita lebih dahulukan. Akuntabilitas subtantif dimana hal yang dilaporkan adalah sesuai dengan hal yang telah dilaksanakan tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan. Lagi-lagi memang sistem menuntut akuntabilitas prosedural tersebut, tapi ini berefek pada pembentukan karakter mahasiswa yang koruptor atau setidaknya mendekati itu, meskipun banyak pihak menghalalkannya dengan berdalih uang hasil markup laporan tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang lain.
Apapun itu setiap orang mempunyai sikap dan pandangan masing-masing dan seharusnya para pemegang sistem yang dalam hal ini birokrasi kampus mau lebih mengerti tentang kondisi mahasiswa agar jangan sampai kampus sebagai inkubator para pemimpin bangsa justru terjadi sebuah aktifitas penghancur moral di sini. Saat untuk semua bergerak, bukan hanya sekedar beropini, bukan hanya sekedar ber-komunitas anti korupsi tapi benar-benar menunjukkan aksi dan tindakan nyata dalam hal pemberantasan koruspi terutama di kampus kita tercinta.



Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Mahasiswa Bagian Pidana Fakultas Hukum Angkatan 2007
Pernah dimuat pada Koran Kampus UNNES, Kompas Mahasiswa Edisi 2010

1 komentar:

korupsi memang musuh bersama

Posting Komentar