Minggu, 25 Desember 2011

Anggota Dewan yang Negarawan Bukan Partisan

KATA Jhon F. Kennedy beberapa tahun silam bahwa my loyalty to my party ends when my loyalty to my country comes—loyalitas saya pada partai saya berakhir saat loyalitas saya terhadap negara datang. Paling tidak ungkapan ini menyiratkan sebuah loyalitas pengabdian pada masyarakat yang lebih luas. Agaknya benar memang apa yang diungkapkan oleh Mantan Presiden Amerika tersebut. Saat panggilan atas nama rakyat, panggilan sebagai wakil Tuhan, maka simbol-simbol golongan, partai ataupun kelompok sudah seharusnya hilang dan digantikan dengan simbol rakyat.

Partai seharusnya menjadi simbol yang penting dalam mengusung ide, visi, dan misi kebangsaan yang lebih luas. Tapi kemudian faktanya kita melihat justru partai dijadikan alat penggerak sekaligus pemuas bagi kelompok partainya, bahkan ketika panggilan atas nama rakyat telah melolong. Berbagai kasus di negeri ini, Indonesia, membawa kita pada sebuah kenyataan bahwa mereka yang mengatasnamakan rakyat, mereka yang menjadi wakil rakyat, dan mereka anggota DPR di negeri adalah para negawaran yang memiliki tanggungjawab besar pada rakyat. Benar memang bahwa mereka diusung atas nama partai, mereka juga dikader melalui partai, tapi yang mendaulat mereka untuk kemudian menjadi wakil rakyat adalah rakyat meskipun dengan jalan partai itu sendiri. Maka pencopotan simbol-simbol partai menjadi wajib.
Bukankah anggota dewan kita seharusnya menjadi negawaran bukanlah partisan, seperti kerbau yang dicocok hidungnya selalu mengikuti perintah dan arahan partai, bahkan dalam mengambil kebijakan untuk rakyat. Akibat fatal dari kondisi tersebut, kondisi dimana anggota dewan kita menjadi partisan bukan negarawan adalah ‘impotensi’ pemikiran, kekuatan, dan bahkan pengambilan kebijakan. Kenapa impoten? Karena mereka tak lagi mampu menggunakan wewenang sebagai anggota dewan sebagaimana mestinya. Bentuk fisik ada namun tak berfungsi. Coba tengok berapa banyak kemudian aspirasi rakyat yang menguap begitu saja ketika aspirasi tersebut bertentangan dengan kebijakan partai.
Kacang yang lupa kulitnya. Sebuah stigma yang mungkin bisa kita sematkan pada anggota dewan kita ini. Mengapa? Karena mereka melupakan rakyat. Bukankah anggota dewan seharusnya menjadi negarawan. Dan bukankah negarawan berasal dari sebuah gerakan sosial independen, gerakan pembebasan yang tidak memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan politik-ekonomi yang membatasasi. Realitas yang ada justru membuat bingung, menimbulkan kemagangan, dan bahkan ketidakyakinan rakyat kepada siapa mereka harus mengungkapkan aspirasinya. Yang pada akhirnya, pada titik yang mengkhawatirkan kita melihat ketidakpercayaan masyarakat atas apapun yang dilakukan pemerintah atau anggota dewan. Apapun yang dilakukan, diupayakan, dan diusahakan selalu saja menimbulkan kekhawatiran dan kesia-sian bagi rakyat. Tentu bukan inilah yang diharapkan oleh kita, oleh rakyat atas bangsa yang merdeka ini. []


Written by: Ridwan Arifin


0 komentar:

Posting Komentar