Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia

Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.

Kebangkitan Muslim

Islam bukan hanya sebagai sebuah agama yang lekat dan sarat akan aktivitas ritual keagamaannya, tapi lebih dari itu, Islam adalah konsep hidup bukan hanya bagi umat Islam itu sendiri tapi bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Islam datang dan diperuntukkan sebagai rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam yang meliputi seluruh umat dan kehidupan.

LEARNED FROM SUPER SIC

Konteks Indonesia, keberanian Simonceli memberikan sebuah pencerahan betapa keberanian pada akhirnya membutuhkan pengorbanan, bukan untuk kesuksesan tapi untuk dedikasi.

RAKYAT MENGGUGAT

Generasi muda sepanjang sejarah menempatkan diri sebagai kelompok yang memiliki peran strategis dalam perubahan, baik secara moral, sosial, politik, maupun kultur.

PAHLAWAN PADAMU KAMI MENGADU

Pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, membebaskan rakyat dari ketidakberdayaan, melepaskan rakyat dari penjajahan, dan menyadarkan rakyat akan identitas bangsanya.

Tampilkan postingan dengan label Youth. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Youth. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 November 2011

Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia


Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.


Seringkali banyak pihak mengaitkan antara kemiskinan dengan pendidikan. Kemiskinan kerapkali dijadikan argumentasi yang kuat atas rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah berkurang secara signifikan, dari 24,2% pada tahun 1998 menjadi 13,3% pada tahun 2010. Tapi jumlah angka penduduk miskin masih dikisaran 30 juta orang. Adalah hak setiap rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang tidak dapat memungkiri bahwa pendidikan adalah hakikat dari kehidupan. Dengan manusia akan lebih sejahtera dan terarah. Dan dengan pendidikan pula manusia akan menjadi bijaksana.
            Pendidikan di negeri ini akan sangat berkaitan dengan berbagai aspek yang tengah terjadi baru-baru ini. pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya bahkan pertahanan. Karena bagaimanapun juga baik buruknya, rendah tingginya atau bahkan maju atau lambatnya perkembangan pendidikan di Indonesia ditentukan oleh aspek-aspek tersebut. Bagaimana tidak demikian faktanya jika kita melihat berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan terkait dukungannya yang rendah terhadap pendidikan bagi rakyat Indonesia. Maka tidak jarang beberapa orang mengatakan bahwa pendidikan adalah modal awal (initial endowment) namun akan terasa sangat sulit didapatkan di negeri ini.
            Buruknya sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini menjadi salah satu tolak ukur buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang di Indonesia berbagai sistem model pendidikan telah dicoba bahkan masih teringat di benak kita semua kebijakan mengenai klasifikasi sokalh berstandar internasional yang justru membuat jurang pemisah antara masayarakat mampu dan tidak mampu. Semestinya tidak demikian karena pendidikan adalah hak semua rakyat. Hasil Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. Hal ini tentunya menjadi salah satu bukti buruknya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
            Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia sebagai penjamin hak-hak rakyat atas kehidupannya, jika bukan pemerintah siapalah yang hendak menjamin semuanya? Pendidikan akan berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Karena tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan begitu juga bagi pemerintah. Melihat laporan dari  United Nation Develompent Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005 yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia ternyata tetap buruk adalah sebuah kekehawatiran bersama. Tahun 2004 Indonesia baru menempati urutan ke-111 dari 175 negara sedangkan pada tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Mnyanmar (132) dan Laos (135).
            Belum tuntasnya masalah rendahnya akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, pemerintah dihadapkan pada tinggi angka pengangguran di negeri ini. Karena diakui atau tidak, tingginya angka pengangguran tersebut berbanding lurus dengan rendahnya akses pendidikan masyarakat Indonesia. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, diploma/S0 27,5% dan PT sebesar 36,6% sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.

Anggaran yang Super Mini
            Di tengah gembar-gembor pemerintah tentang partisipasi penuhnya terhadap pendidikan Indonesia justru terkesan omong kosong belaka tanpa bukti nyata. Rendahnya anggaran di sektor pendidikan adalah bukti ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam membangun pendidikan nasional kita. Berapa banyak sekolah-sekolah yang rusak, sudah tidak layak atau bahkan roboh. Dan begitu banyak pula yang terabaikan oleh pemerintah Indonesia. Di DKI Jakarta saja pada tahun 2000 ada sekitar 400 gedung sekolah di rusak. Gedung-gedung tersebut tidak pernah direhabilitasi sejak dibangun. Namun pada tahun 2008 APBD DKI Jakarta hanya menganggarkan dana untuk melakukan perbaikan total atas 21 sekolah. Anggaran pendidikan terbagi untuk  berbagai subsidi dan bantuan.
Data dari Balitbang Depdiknas tahun 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 juta, yang terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Selain itu beban biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua/siswa) hanya berkisar 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total. Sedangkan data dari laporan Bank Dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah menanggung pembiayaan pendidikan 89% untuk rakyatnya. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, presentasi anggaran yang disediakan pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.
Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit memang menjadi salah satu faktor penentu tinggi rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia. Lihat saja ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 sebesar Rp 427,6 trilliun. Dari jumlah tersebut yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp 36,7 trilliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggran pendidikan adalah 20% dari 427,6 trilliun atau sebesar Rp 85,5 trilliun, maka masih terdapat defisit atau kekurang kebutuhan dana pendidikan sebesar 47,9 trilliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah pada 4 juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen pertahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,01% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebsar 8,1 % pada tahun  2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan 90,10 trilliun dari total anggaran Rp 763,6 trilliun. Sebegitu rendahnya kah anggaran pendidikan untuk masyarakat Indonesia? Lalu kemanakah uang rakyat yang dikelola negara dihabiskan oleh negara?

Relawan Masuk Desa
            Rendahnya tingkat pendidikan di desa dan daerah tertinggal bukan lagi rahasia umum. Tingkat buta aksara di Indonesia terutama daerah tertinggal masih sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya akses pendidikan bagi masyarakat di daerah tersebut. Katakanlah tingkat pencapaian APK (angka parsitisipasi kasar) dan APM (angka partisipasi murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah. Hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sebanyak 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendididkan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Sampai tahun 2010 saja masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa timur (1.086.921 orang), jateng (640.428), jabar (383.288), sulsel (291.230), NTT (117.839), Kalbar (117.339, dan Banten (114.763 orang).
            Untuk menekan jumlah buta aksara dan mengatasi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia, pemerintah tidak cukup banyak mempunyai pasokan guru untuk disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Adalah menjadi sangat penting peranan mahasiswa dan masyarakat yang peduli akan nasib bangsa ini ketika redahnya ketersediaan jumlah tenaga pengajar di negeri ini. Harus ada sekelompok orang yang rela mendedikasikan dirinya untuk sekedar mengajarkan baca tulis di daerah pedalaman, atau bahkan daerah tertinggal sekalipun. Bukanlah materi yang dituju tapi sebuah kepuasan batin akan pekerjaan yang ditekuninya tersebut. Kita tidak banyak mendengar kisah orang yang rela menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan aksara di daerah pedalaman, namun pastilah ada orang seperti itu.
            Berbagai upaya bisa dilakukan selain menjadi tenaga pengajar atau relawan di daerah tertinggal. Dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang universal terhadap generasi sekitar kita, secara tidak langsung kita akan membentuk pribadi-pribadi yang kokoh untuk bangsa ini. Menyiapkan generasi 2045 sebagaimana yang digambarkan oleh Bambang Indriyanto. Bahwa di tengah globalisasi dan perkembangan zaman yang semakin pesat, masih ada mereka yang buta aksara, masih terdapat mereka yang belum terjamah oleh pendidikan kita. Maka Bambangpun mengatakan bahwa dengan globalisasi, kompetisi akan menjadi aturan main yang harus diikuti setiap negara. Memenangi kompetisi dengan hanya mengandalkan sumber daya alam tidak lagi relevan karena sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi modal utama.
            Maka dari itu, untuk menjamin keterbukaan akses masa depan bagi generasi Indonesia, knowledge and technology base economy sebagaimana yang diutarakan oleh Bambang Indriyanto akan semakin dominan. Dengan mengandalkan penanaman pengatahuan kepada generasi Indonesia dan penggunaaan teknologi akan menjadikan pemerataan pendidikan di negeri ini akan semakin mudah dan semakin terjangkau oleh semua rakyat.

Menuju Visi Pendidikan yang Lebih Maju
            Sejalan dengan berbagai kebijakan reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia, visi pendidikan Indonesia pun seharusnya lebih mengedepankan pemebentukan karakter bangsa sebagai asset besar ke depan. Hendaknya kebijakan pendidikan tidak berada dalam kevakuman yang justru akan lebih menjerumuskan rakyat nantinya. Kemajuan teknologi informasi, teterbukaan akses publik, bahkan perkembangan arus globalisasi menuntut pemerintah menajamkan visinya dalam sektor pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun juga, pendidikan adalah asset terbesar bangsa ini. Indonesia akan menjadi bangsa yang besar ketika akses pendidikan di dapatkan oleh semua rakyat Indonesia dengan mudah dan bermutu.
            Akhir dari semua pilihan adalah menunggu dan menanti kemajuan kebijakan pemerintah dalam pendidikan. Namun dalam masa penantian tersebut, kita – rakyat – menjadi sangat rentan terhadap sikap pragmatis. Oleh karenanya butuh sebuah keberanian dalam membuka cakrawala masyarakat Indonesia. Membuka kotak Pandora pendidikan di Indonesia yang berujung pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Dan semua pihak memiliki peranannya masing-masing.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Naskah Esai Bidang Pendidikan
Finalis Lomba Esai Nasiona iDEA IPB Tahun 2011

Kampus Abrakadabra


Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya, kita selalu dihadapkan pada kondisi dimana sekeliling kita menjadi sangat krisis bahkan terlihat dengan jelas impian-impian yang skeptis. Kita [mahasiswa] sering dikait-kaitkan dengan agent of change, director of change atau bahkan agent of movement yang justru terdengar sangat utopis. Tidaklah usah jauh kita memandang akan negara yang lebih besar dengan problematika yang tak kunjung habis sampai hari ini, bahkan sampai saat ini masih sangat digandrungi untuk terus dibicarakan dan diperdebatkan. Kampus [kita] sebagai bagian yang lekat dengan kepribadian, pembentukan bahkan perjuangan kita nantinya justru luput dari perhatian yang seharusnya berawal dari sinilah perubahan untuk negeri ini.
Belum habis kontroversi akan kampus [konservasi] ini, kedepan kita akan masih dihadapkan pada hal yang serupa, yaitu kemungkinan dan ketidakmungkinan yang kita pertaruhkan dalam memperjuangkan hak pendidikan untuk khalayak. Ya, pendidikan –bukan pendidikan yang murah– di kampus yang katanya hendak menuju kampus taraf internasional. Kesibukan para elitis pemerintahan [mahasiswa] belum menunjukkan signifikansinya yang berarti terhadap kebijakan kampus selama ini. Seolah disibukkan dengan aksi [kunjungan] sana-sini yang pada akhirnya sebagai ajang eksistensi diri di televisi, coba lihat berita demostrasi [mahasiswa] beberapa waktu lalu. Itu baru elitis pemerintahan [mahasiswa], bagaimana dengan elitis [birokrasi] kampus lainnya. Nampaknya terlihat serupa tapi tak sama. [kampus] Kita hanya disibukkan dengan pencitraan, pembangunan fisik –yang tak kunjung teralisasi– bahkan sibuk mencari peluang [dana] dari masuknya gelombang [mahasiswa] baru ke kampus ini.
Bukan hanya elitis [mahasiswa dan birokrasi] saja, bahkan mahasiswa [jelata] juga disibukkan dengan kenikmatan berselancar di dunia [tak] nyata yang didukung dengan fasilitas super canggih, bahkan seringkali [salah] digunakan. Seolah [kampus] ini sihir, semua serba tak nyata, tidak jelas dan hanya ilusi belaka. Semuanya menjauhkan kita [mahasiswa] dari realitas kondisi yang ada. Bukan salah siapa-siapa, [mungkin] salah penulis dalam memandang pandangan [nyata] ini. Walau bagaimanapun juga, penyadaran dari ketidakterbukaan mata dan hati dalam melihat realitas kondisi harus segera dilakukan.

Berawal dari sini
Memang butuh sekelompok orang [mahasiswa] yang benar-benar peduli dan tulus dalam menjadi tulang punggung kampus ini. bagiamanapun kampus tanpa mahasiswa tidak akan pernah ada, tapi sebaliknya mahasiswa tanpa kampus nampaknya akan tetap [ada] menjadi mahasiswa dimanapun berada, karena pola pikir dan pola gerak memperlihatkan konsistensinya dalam berjuang, meskipun [statusnya] bukan sebagai mahasiswa. Masyarakat akan membentuk kepribadiannya, begitupula dengan masyarakat [kampus] ini. Maka semua permasalahan, kejanggalan, ketidakseimbangan bahkan ketidakpastian yang ada dalam kampus ini adalah tanggung jawab semua [rakyat] kampus. Sebab hanya kampus abrakadabra-lah memperjualbelikan ilusi, mimpi kosong tanpa aksi, bahkan kenikmatan yang tak nyata.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Pernah dimuat di Buletin Express Tahun 2011
Buletin Mingguan Mahasiswa UNNES

Gerakan Perubahan: dari Media Sosial ke Negara


Generasi muda sepanjang sejarah menempatkan diri sebagai kelompok yang memiliki peran strategis dalam perubahan, baik secara moral, sosial, politik, maupun kultur. Pergerakan pemuda pada setiap masanya selalu diwarnai dengan berbagai karakter yang menunjukkan pola-pola pergerakan dan atau perubahan yang diusung kepada khalayak. Mulai dari yang konvensional sampai yang paling modern, dari yang berdampak lokal sampai mendunia. Generasi muda dalam gerakan perubahannya bukan hanya mengusung isu tanpa solusi tapi juga memberikan solusi kritis atas permasalahan yang dihadapi. Bahkan Amin Sudarsono (2010) menegaskan bahwa dalam kesejarahan Indonesia dan sebagian besar negara di dunia, inetelektulitas tampaknya menjadi standar ide-ide perubahan, dan menjadi parameter bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin perubahan.[1]

Hal yang menjadi tuntutan besar dan motif pengusungan gerakan perubahan oleh generasi muda adalah ketidakseimbangan kondisi sosial di masyarakat baik yang disebabkan oleh elemen-elemen masyarakat tertentu atau bahkan pemerintah. Pada sisi yang sama pula, gerakan pemuda bermetamorfosa ke dalam bentuk-bentuk yang lebih elegan dan komunikatif tanpa menghilangkan unsur provokatif dan persuasif. Kalaulah dahulu gerakan pemuda menggulingkan tirani Soekarno atau bahkan Orde Baru yang merezim dengan berbagai bentuk aksi demostrasi yang berakhir pada singgungan fisik antara pemerintah dan rakyat yang dalam hal ini pemuda. Namun kini, sebuah pengusungan perubahan, ide-ide yang membakar semangat bisa lebih cepat menyebar dan merasuk ke semua elemen masyarakat melalui berbagai social media yang pada akhirnya masyarakat secara sukarela tersadarkan dan tergerak ke dalam bentuk perubahan yang lebih nyata. Tentu kita masih mengingat bagaimana rezim Muammar Khadafi di Libya dilengserkan oleh gerakan perubahan yang diusung masyarakat, atau bahkan Revolusi Mesir belum lama ini yang dimulai dari gerakan bawah tanah melalui dunia maya yang justru memberikan dampak luas bagi rakyat Mesir itu sendiri. Bukankah telah terbukti, bahwa sejatinya arus kekuatan rakyat (people power) tidak bisa dibendung dengan cara apapun bahkan dengan intimidasi sekalipun.

Adalah satu hal tidak bisa terbantahkan bahwa media informasi yang semakin luas dan bisa diakses oleh semua elemen masyarakat memberikan dampak yang signifikan pada setiap sektor masyarakat. Bahkan gerakan-gerakan perubahan sosial yang selama ini terjadi bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya tidak terlepas dari peran media informasi dan komunikasi. Memang sekarang ini, tidak ada lagi kata sendiri dalam perubahan dan juga tidak untuk rasa takut. Sebab kemudahan akses informasi komunikasi memberikan setiap individu ruang yang seluas-luasnya untuk memberikan ide-ide segar mereka bahkan ide yang paling ekstrim sekalipun dalam proses perubahan masyarakat. Bagaimana bisa seorang Prita Mulyani menjadi insiprasi gerakan yang meng-Indonesia dalam membentuk aksi solidaritas kemanusiaan? Atau bagaimana mungkin seorang SBY sering sekali cemas dan mengeluh terkait berbagai pemberitaan tentang dirinya pada berbagai media termasuk media sosial. Hal tersebut dimungkinkan terjadi bahkan masih banyak hal dan peristiwa yang mungkin terjadi akibat gerakan perubahan sosial yang diusung oleh generasi-generasi muda melalui berbagai media sosial yang ada


Propaganda Persuasif Pemuda

            Kita selalu mengidentikkan propaganda dengan sesuatu yang lekat dengan aksi demostrasi dan gerakan perubahan. Memang tidak salah, sebab propaganda adalah salah satu bentuk dari sekian banyaknya bentuk bagian-bagian pendukung pada proses perubahan sosial. Propangare[2]secara harfiyah merujuk pada cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memperoduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan pemaknaan lain bisa dikatakan bahwa propaganda adalah mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas). Maka apa yang dilakukan oleh Prita Mulyasari dalam gerakan perubahan adalah salah satu teknik untuk mengembangkan atau memekarkan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengannya yang berbeda tempat, ruang dan waktu sehingga mampu memunculkan atau menghidupkan benih-benih baru pada berbagai situasi di kemudian hari. Dan ternyata benar, Prita Mulyasari berhasil membuka kesadaran masyarakat atas ketidakadilan yang diterimanya dan bahkan mampu mengorganisir beberapa kelompok masyarakat yang memiliki nasib yang sama dalam bentuk gerakan yang lebih terarah dan dinamis.

Harold D. Laswell (1937) menegaskan bahwa propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi manusia dengan memanipulasi representasinya. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Prita Mulyasari atau Pemuda Mesir dalam Revolusi Mesir sebagai bentuk cara bagaimana untuk mempengaruhi kelompok masyarakat lainnya sehingga mampu memberikan dampak yang signifikan bukan hanya untuk kelompoknya tapi untuk seluruh masyarakat pada umumnya. Sebenarnya, yang melatarbelakangi gerakan-gerakan perubahan baik sejenis Prita atau Revolusi Mesir adalah adanya hasil dari proses interaksi antar individu yang memberikan sinyalemen ketidakseimbangan dalam kondisi masyarakat yang akhirnya mengarah pada satu opini publik tertentu. Hal ini tentunya membuat kita berpikir bahwa sejatinya gerakan-gerakan nonformal (seperti melalui media sosial: blog, facebook, atau twitter) justru lebih memberikan efek yang luas dibandingkan gerakan yang terbentuk dalam badan lembaga tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh William Albiq (Santos Sastropoetro, 1990) bahwa opini publik adalah suatu jumlah dari pendapat-pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu publik.

Kemudian, apa yang diupayakan oleh gerakan pemuda dalam bentuk propaganda bisa dikatakan sebagai bentuk rekayasa sosial yang meliputi sebuah proses perencanaan, pemetaan dan pelaksanaan dalam konteks perubahan struktur dan kultur sebuah basis sosial masyarakat. Maka perubahan sosial ini dimaknai sebagai perbedaan antara kondisi sekarang dan kondisi sebelumnya terhadap aspek-aspek dari struktur sosial.[3] Revolusi adalah salah satu bentuknya, sebagaimana pernah diupayakan oleh pemuda Mesir yang berakhir pada perubahan struktur sosial masyarakat Mesir secara singkat. Memang revolusi selalu menggunakan cara cepat, cukup beresiko, dilakukan secara reaktif dan terkesan sporadis. Tentunya hal tersebut sejalan dengan semangat perubahan yang diusung generasi muda. Berikan Aku sepuluh orang pemuda maka akan Aku goncangkan dunia, kata Bung Karno yang kemudian selalu menginspirasi gerakan pemuda nasionalis dalam berbagai gerakan perubahannya.[4]



Dari Media Sosial Ke Negara

Facebook, twitter, blog, atau bahkan mailing list kini menjadi media-media sosial yang memberikan berbagai pencerahan pada masyarakat. Banyak ide-ide dan semangat pemuda yang dikobarkan dan disebarkan melalui media tersebut. Memang, kemudahan akses informasi memberikan dampak yang luas dan sporadis begitupula dengan penyampaian ide-ide, kritik, atau bahkan keluhan melalui media-media sosial tersebut. Kita mungkin pernah mendengar istilah blogblower sebagai sebutan untuk para blogger yang berani mengungkapkan semua kejadian di masyarakat baik berupa pengungkapan fakta kasus atau kritik peristiwa. Dan memang, cara-cara seperti itu dinilai efektif dalam pengusungan perubahan masa kini.

Perubahan sosial pada masa-masa sebelum kemunculan teknologi informasi yang canggih dan pesat, selalu diwarnai oleh berbagai praduga yang mengarah pada kepentingan kalangan elit tertentu. Spirit muda sering ditandai dengan berbagai eksklusivitas tanpa sadar. Dalam banyak perbincangan biasanya mereka mengeindetifikasikan diri dengan peran awal para pendiri negara ini yang memulai debut politik mereka sebagai kaum muda. Sisi lain yang tidak bisa dipungkiri adalah fakta bahwa gerakan kaum muda merupakan representasi kelompok elit dari kalangan menengah (middle class) di struktur sosial masyarakat.[5] Kendati demikian, gerakan perubahan pemuda selalu memberikan kesan yang membekas pada masyarakat dan pemerintah.

Gerakan yang dimulai melalui media-media sosial seperti facebook, twitter, maling list, atau blog tidak lagi terlokalisasi dalam bentuk gerakan regional berskala kecil saja melainkan sudah merambah kepada isu-isu kritis terhadap pemerintah dan keinginan untuk bebas dari ketidakadilan rezim. Pada titik inilah, titik dimana gerakan muda tidak lagi terbatas pada isu lokal, memiliki sebuah kesempatan atas kekuasaan gerakan rakyat. Kekuasaan yang dimaknai oleh Budiardjo (2002)[6] sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Oleh karenanya, gerakan pemuda membingkai movement mereka dengan bentuk-bentuk kekinian dengan pemanfaatan media sosial secara masif. Maka perubahan sosial, dari media sosial ke negara akan selalu mengalami metamorfosa ke dalam bentuk-bentuk yang lebih baru, elegan dan semakin persuasif.






Ridwan Arifin
ridwanarifin89@ymail.com
Essay for Indonesian Young Netizen Day (IYND) 2011




Catatan Kaki




[1] Amin Sudarsono, Kata Pengantar dalam “Ijtihad Mmbangun Basis Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm xii.

[2]  Edo Segara, “Humas Gerakan Membangun Citra Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm.  43.

[3]   Amin Sudarsono, “Ijtihad Mmbangun Basis Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm 87-88.

[4]   Salah satu ungkapan Mantan Perseiden Soekarno dalam membangkitkan semangat pemuda Indonesia pada masa penjajahan dan kemerdekaan. Ungkapan ini selalu menjadi dalil ‘pembenaran’ bagi pemuda Indonesia bahwa mereka memiliki peran penting dan strategis dalam perubahan masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan sikap elitis pragmatis dalam gerakannya.


[5]  Amin Sudarsono, Epilog dalam “Ijtihad Mmbangun Basis Gerakan”, Muda Cendekia, 2010, hlm 213.

[6]  Miriam Buduarho, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT Gramedia, 2002. Hlm. 35.

Technology and Youth as Actor for Counter Terrorism


We always remember and be overshadowed by the violence, wars and conflicts in various parts of the world. As if the price of human life become so cheap and low when conflict occur. Bloodshed, murder and crimes that stain the universal human values ​​as if no concern to us. Many war stories are so tragic and even sad. We may still remember the wars in the past, when Perl Harbor was bombarded, Nagasaki was destroyed even Indonesia conquered. Using various kinds of weapons and technology even in war it gives tremendous impact of the destruction, not only for the environment but also for the survival of human beings in this universe.
Humans in every era have a crucial role in the development of human civilization. Technological development was directly proportional to human development. Since the days of pre-history until the present era, humans continue to create amazing things using the mind and their ratios are smart. Rapidly evolving technology makes the changing patterns of human behavior and the traditional lifestyle to be modern as now. Technology does have significance in human life. As can’t escape from technology, people become very dependent on the developing technology. I am a person who believes that technology will not only have a positive impact but nevertheless negative. Technology such as knives, if we use it to cut the meat it will be very useful. But it would be greatly impacted if we use a knife to kill. Technology can be said is a neutral thing. How do we use it and like what our attitude is the key in the use of these technologies well bad.
Tell the world now-now that would upset the middle of fear and anxiety. What a dream world of peace and harmony, and this can be realized by the technology. Various advanced technologies made for human welfare and provide a sense of security. How many people who feel the light even in the remote village. How many people are able to hear the news from a country far across the ocean there. And how many people are able to move only in an instant. Technology seemed to make man without limits of space and time. But often misused technology in acts of violence that causes fear.
Terrorism is one act of harnessing technology to street violence. How not, various acts of terrorism in the world using sophisticated technology. WTC terrorist acts of September 11, Bali bombings, or even the Iraq War, is this what we want from the use of technology? Of course not. Of course that is expected is the use of technology for prosperity, for peace and for human survival.
Then how is the role of youth in creating a peaceful world order in the midst of rapid development in technology? At this level the role of youth is needed as a subject predicate by young, fresh, vigorous to become the head and spine peace after one stage of the person who just stepped into the conflict ammunition. Regularity of the regeneration of the older generation to the younger generation becomes an important deterrent factor in realizing justice.
Youth become one integral part of the world in the peace process being carried along by the nation states. Youth have a critical attitude issues use of technology. Youth also have a solution that is more relevant in the community when compared with the government to be more politically and elitist. Youth as a basis for lightening and actor changes in the dynamics of the world. The issues that brought the youth are always fresh and interesting to observe. Even the youth in some situations be able to play an important position as subject and object at once. Grassroots and the government require bridges that connect the interests of both parties, and young people be able to bridge the two. The attitude of young people who self-reliant and assertive as well as an inspiring and fresh thinking make the youth as the mouthpiece of the aspirations of the community. In many countries, the forums gathering of world youth made submissions in determining state policy. As a control society, youth is believed to be problem solvers and solution providers. Therefore youth have a strategic role in realizing the use of technology to world peace.
As a conclusion, that all efforts made by the youth could not be implemented well and maximal if no support from society as an implementer of policy and government as policy maker and the holder. World view of peace in all countries is the same view, namely to create world records safe, peaceful and at ease for present and future generations.


Utilization of Technology for World Peace and Role of Youth
 Essay for International Youth Forum (IYF) 2011
Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)