Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia

Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.

Kebangkitan Muslim

Islam bukan hanya sebagai sebuah agama yang lekat dan sarat akan aktivitas ritual keagamaannya, tapi lebih dari itu, Islam adalah konsep hidup bukan hanya bagi umat Islam itu sendiri tapi bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Islam datang dan diperuntukkan sebagai rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam yang meliputi seluruh umat dan kehidupan.

LEARNED FROM SUPER SIC

Konteks Indonesia, keberanian Simonceli memberikan sebuah pencerahan betapa keberanian pada akhirnya membutuhkan pengorbanan, bukan untuk kesuksesan tapi untuk dedikasi.

RAKYAT MENGGUGAT

Generasi muda sepanjang sejarah menempatkan diri sebagai kelompok yang memiliki peran strategis dalam perubahan, baik secara moral, sosial, politik, maupun kultur.

PAHLAWAN PADAMU KAMI MENGADU

Pahlawan adalah mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pahlawan adalah mereka yang berjuang dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, membebaskan rakyat dari ketidakberdayaan, melepaskan rakyat dari penjajahan, dan menyadarkan rakyat akan identitas bangsanya.

Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 November 2011

Membuka Kotak Pandora Pendidikan di Indonesia


Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapai kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not preparation for life; education is life itself – John Dewey.


Seringkali banyak pihak mengaitkan antara kemiskinan dengan pendidikan. Kemiskinan kerapkali dijadikan argumentasi yang kuat atas rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah berkurang secara signifikan, dari 24,2% pada tahun 1998 menjadi 13,3% pada tahun 2010. Tapi jumlah angka penduduk miskin masih dikisaran 30 juta orang. Adalah hak setiap rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang tidak dapat memungkiri bahwa pendidikan adalah hakikat dari kehidupan. Dengan manusia akan lebih sejahtera dan terarah. Dan dengan pendidikan pula manusia akan menjadi bijaksana.
            Pendidikan di negeri ini akan sangat berkaitan dengan berbagai aspek yang tengah terjadi baru-baru ini. pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya bahkan pertahanan. Karena bagaimanapun juga baik buruknya, rendah tingginya atau bahkan maju atau lambatnya perkembangan pendidikan di Indonesia ditentukan oleh aspek-aspek tersebut. Bagaimana tidak demikian faktanya jika kita melihat berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan terkait dukungannya yang rendah terhadap pendidikan bagi rakyat Indonesia. Maka tidak jarang beberapa orang mengatakan bahwa pendidikan adalah modal awal (initial endowment) namun akan terasa sangat sulit didapatkan di negeri ini.
            Buruknya sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini menjadi salah satu tolak ukur buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang di Indonesia berbagai sistem model pendidikan telah dicoba bahkan masih teringat di benak kita semua kebijakan mengenai klasifikasi sokalh berstandar internasional yang justru membuat jurang pemisah antara masayarakat mampu dan tidak mampu. Semestinya tidak demikian karena pendidikan adalah hak semua rakyat. Hasil Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. Hal ini tentunya menjadi salah satu bukti buruknya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
            Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia sebagai penjamin hak-hak rakyat atas kehidupannya, jika bukan pemerintah siapalah yang hendak menjamin semuanya? Pendidikan akan berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Karena tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan begitu juga bagi pemerintah. Melihat laporan dari  United Nation Develompent Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005 yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia ternyata tetap buruk adalah sebuah kekehawatiran bersama. Tahun 2004 Indonesia baru menempati urutan ke-111 dari 175 negara sedangkan pada tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Mnyanmar (132) dan Laos (135).
            Belum tuntasnya masalah rendahnya akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia, pemerintah dihadapkan pada tinggi angka pengangguran di negeri ini. Karena diakui atau tidak, tingginya angka pengangguran tersebut berbanding lurus dengan rendahnya akses pendidikan masyarakat Indonesia. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, diploma/S0 27,5% dan PT sebesar 36,6% sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.

Anggaran yang Super Mini
            Di tengah gembar-gembor pemerintah tentang partisipasi penuhnya terhadap pendidikan Indonesia justru terkesan omong kosong belaka tanpa bukti nyata. Rendahnya anggaran di sektor pendidikan adalah bukti ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam membangun pendidikan nasional kita. Berapa banyak sekolah-sekolah yang rusak, sudah tidak layak atau bahkan roboh. Dan begitu banyak pula yang terabaikan oleh pemerintah Indonesia. Di DKI Jakarta saja pada tahun 2000 ada sekitar 400 gedung sekolah di rusak. Gedung-gedung tersebut tidak pernah direhabilitasi sejak dibangun. Namun pada tahun 2008 APBD DKI Jakarta hanya menganggarkan dana untuk melakukan perbaikan total atas 21 sekolah. Anggaran pendidikan terbagi untuk  berbagai subsidi dan bantuan.
Data dari Balitbang Depdiknas tahun 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 juta, yang terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Selain itu beban biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua/siswa) hanya berkisar 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total. Sedangkan data dari laporan Bank Dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah menanggung pembiayaan pendidikan 89% untuk rakyatnya. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, presentasi anggaran yang disediakan pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.
Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit memang menjadi salah satu faktor penentu tinggi rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia. Lihat saja ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 sebesar Rp 427,6 trilliun. Dari jumlah tersebut yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp 36,7 trilliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggran pendidikan adalah 20% dari 427,6 trilliun atau sebesar Rp 85,5 trilliun, maka masih terdapat defisit atau kekurang kebutuhan dana pendidikan sebesar 47,9 trilliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah pada 4 juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen pertahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,01% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebsar 8,1 % pada tahun  2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan 90,10 trilliun dari total anggaran Rp 763,6 trilliun. Sebegitu rendahnya kah anggaran pendidikan untuk masyarakat Indonesia? Lalu kemanakah uang rakyat yang dikelola negara dihabiskan oleh negara?

Relawan Masuk Desa
            Rendahnya tingkat pendidikan di desa dan daerah tertinggal bukan lagi rahasia umum. Tingkat buta aksara di Indonesia terutama daerah tertinggal masih sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya akses pendidikan bagi masyarakat di daerah tersebut. Katakanlah tingkat pencapaian APK (angka parsitisipasi kasar) dan APM (angka partisipasi murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah. Hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sebanyak 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendididkan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. Sampai tahun 2010 saja masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa timur (1.086.921 orang), jateng (640.428), jabar (383.288), sulsel (291.230), NTT (117.839), Kalbar (117.339, dan Banten (114.763 orang).
            Untuk menekan jumlah buta aksara dan mengatasi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia, pemerintah tidak cukup banyak mempunyai pasokan guru untuk disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Adalah menjadi sangat penting peranan mahasiswa dan masyarakat yang peduli akan nasib bangsa ini ketika redahnya ketersediaan jumlah tenaga pengajar di negeri ini. Harus ada sekelompok orang yang rela mendedikasikan dirinya untuk sekedar mengajarkan baca tulis di daerah pedalaman, atau bahkan daerah tertinggal sekalipun. Bukanlah materi yang dituju tapi sebuah kepuasan batin akan pekerjaan yang ditekuninya tersebut. Kita tidak banyak mendengar kisah orang yang rela menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan aksara di daerah pedalaman, namun pastilah ada orang seperti itu.
            Berbagai upaya bisa dilakukan selain menjadi tenaga pengajar atau relawan di daerah tertinggal. Dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang universal terhadap generasi sekitar kita, secara tidak langsung kita akan membentuk pribadi-pribadi yang kokoh untuk bangsa ini. Menyiapkan generasi 2045 sebagaimana yang digambarkan oleh Bambang Indriyanto. Bahwa di tengah globalisasi dan perkembangan zaman yang semakin pesat, masih ada mereka yang buta aksara, masih terdapat mereka yang belum terjamah oleh pendidikan kita. Maka Bambangpun mengatakan bahwa dengan globalisasi, kompetisi akan menjadi aturan main yang harus diikuti setiap negara. Memenangi kompetisi dengan hanya mengandalkan sumber daya alam tidak lagi relevan karena sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi modal utama.
            Maka dari itu, untuk menjamin keterbukaan akses masa depan bagi generasi Indonesia, knowledge and technology base economy sebagaimana yang diutarakan oleh Bambang Indriyanto akan semakin dominan. Dengan mengandalkan penanaman pengatahuan kepada generasi Indonesia dan penggunaaan teknologi akan menjadikan pemerataan pendidikan di negeri ini akan semakin mudah dan semakin terjangkau oleh semua rakyat.

Menuju Visi Pendidikan yang Lebih Maju
            Sejalan dengan berbagai kebijakan reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia, visi pendidikan Indonesia pun seharusnya lebih mengedepankan pemebentukan karakter bangsa sebagai asset besar ke depan. Hendaknya kebijakan pendidikan tidak berada dalam kevakuman yang justru akan lebih menjerumuskan rakyat nantinya. Kemajuan teknologi informasi, teterbukaan akses publik, bahkan perkembangan arus globalisasi menuntut pemerintah menajamkan visinya dalam sektor pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun juga, pendidikan adalah asset terbesar bangsa ini. Indonesia akan menjadi bangsa yang besar ketika akses pendidikan di dapatkan oleh semua rakyat Indonesia dengan mudah dan bermutu.
            Akhir dari semua pilihan adalah menunggu dan menanti kemajuan kebijakan pemerintah dalam pendidikan. Namun dalam masa penantian tersebut, kita – rakyat – menjadi sangat rentan terhadap sikap pragmatis. Oleh karenanya butuh sebuah keberanian dalam membuka cakrawala masyarakat Indonesia. Membuka kotak Pandora pendidikan di Indonesia yang berujung pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Dan semua pihak memiliki peranannya masing-masing.


Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)
Naskah Esai Bidang Pendidikan
Finalis Lomba Esai Nasiona iDEA IPB Tahun 2011

Menjemput Abad Keemasan Islam

Adalah sebuah keniscayaan akan takdir bahwa kejayaan Islam sebagaimana pernah ada dalam hikayat risalah perjuangan Islam di masa lalu hadir kembali di masa sekarang ini. Sebuah roda perputaran zaman yang terus berjalan dan pada waktunya akan ada titik dimana titik tersebut adalah titik yang penah dijalani sebelumnya, artinya ada saatnya kita akan kembali di masa seperti apa yang pernah terjadi dahulu. Bukanlah tidak mungkin terjadi karena semua hanya perihal rantai kehidupan yang saling berhubungan, terus berputar dan akan kembali pada titik yang serupa. Bahkan sebuah hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menyebutkan bahwa periode Annubuwwah (kenabian) akan berlangsung pada umat Islam dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode Khilafatun ‘ala Minhaj AnNubuwwah (Kekhalifahan atas manhaj kenabian) selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode Mulkan Aadhdhon (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa, selanjutnya datang periode Mulkan Jabbriyyan (penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala, setelah itu akan terulang kembali periode Khilafatun ‘ala Minhaj AnNubuwwah. Maka adalah sebuah kepastian bahwa kejayaan itu akan terulang kembali.
Tentulah kita masih ingat bagaimana kemudian Islam menjadi sebuah peradaban yang luar biasa, peradaban yang membuat Romawi, Persia, Yunani dan peradaban Barat lainnya menjadi gentar dan bahkan terkagum-kagum. Dengan kemurnian ajaran agama serta kepribadian Rasulullah sebagai pemimpin umat kala itu menjadikan Islam sebagai pusat kekuatan, pusat ajaran dan bahkan pusat peradaban. Bahkan masa-masa setelah itu, Islam menjadi center of references bagi masyarakat Barat dalam berbagai konsep ajaran filosofi keagamaan, keilmuan, prinsip hidup bahkan ketokohan. Kejayaan Islam kala itu bertahan sebagai sebuah konsep khilafah islamiyah sampai sejarah runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, tepatnya dimulai sejak 3 Maret 1942 ketika Mustafa Kemal Pasha memproklamirkan pembubaran pemerintahan Islam tersebut. Dan sejak saat itulah Islam bertransformasi menjadi bentuk yang berbeda dalam mengusung peradaban manusia.
Islam bukan hanya sebagai sebuah agama yang lekat dan sarat akan aktivitas ritual keagamaannya, tapi lebih dari itu, Islam adalah konsep hidup bukan hanya bagi umat Islam itu sendiri tapi bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Islam datang dan diperuntukkan sebagai rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam yang meliputi seluruh umat dan kehidupan. Bahkan, untuk saat ini, Islam menjadi salah satu peradaban yang disegani oleh peradaban Barat. Hal tersebut terbukti dengan berbagai fakta dan ramalan berbagai pihak Barat akan bangkitnya Islam di dunia. National Intellegence Council (NIC) dalam Mapping Global Future (pemetaan masa depan dunia) yang dikeluarkan sekitar Desember 2004 silam menyebutkan bahwa a New Chaliphate, berdirinya kembali khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global. Tegaknya khilafah adalah pertanda kebangkitan dan kemenangan Islam akan segera terwujud. Tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi mereka dan sebuah keharusan yang harus diwujudkan oleh kita umat Islam.
Khilafah (kepemimpinan) dalam konteks sebuah persamaan visi, satu komando dan keharmonisan hati atau singkatnya persaudaraan lintas batas adalah konteks khilafah yang sekarang tengah terjadi. Umat Islam sedunia saling mendukung dan menyemangati dalam berbagai hal meskipun tidak ada lagi kekhalifahan Islam seperti masa Rasulullah dan para sahabat. Tidak peduli dari masa asal negaranya, Negara Islamkah, Kerajaankah, Republikkah, Arabkah, Baratkah, atau Timurkah, selama beragama Islam kita saling mendukung satu sama lain. Kemudian dari manakah kebangkitan Islam tersebut muncul? Mungkinkah kebangkitan ini muncul dari Indonesia?

Indonesia, Rahmat Islam Seluruh Alam
Negara dengan penduduk sekitar 88% beragama Islam menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara bukan pemerintahan Islam namun mampu mentransformasikan nilai-nilai keislaman ke setiap sendi-sendi kenegaraan dan kebangsaanya. Potensi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki sekitar 17.508 pulau disebut sebagai Nusantara (Kepulauan Antara) dan jumlah penduduk sekitar 237.556.363 pada 2010 seharusnya mampu menjadi salah satu pendukung bagi kebangkitan Islam di dunia saat ini. Dengan berbagai permasalahan yang tengah dihadapi Indonesia, pernah pula dihadapi umat Islam dalam masa-masa dinasti khilafah islamiyah dahulu. Menurut beberapa pendapat pakar di Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir tahun 1997 dengan demikian jelas menimbulkan dampak-dampak signifikan terhadap perkembangan Islam di negeri ini. Perkembangan tersebut akan terus berlanjut mengikuti perkembangan zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai agama dimana kemajuan zaman semakin membuat manusia kehilangan jati dirinya dan “kekacauan” karena sistem yang sangat sekuler. Lebih dari itu berlarut-larutnya krisi ekonomi yang terjadi membukakan kenyataan tidak hanya rapuhnya “kelas menengah Muslim” tetapi juga bahkan ekonomi dan juga politik Indonesia ketika berhadapan dengan globalisasi (Azra: 1999). Sementara itu para pengamat pernah memprediksi bahwa jika ada “kebangkitan Islam”, maka kebangkitan Islam itu akan terjadi di Indonesia atau Malaysia, atau tepatnya di Asia Tenggara. Menurut Azumardi Azra dengan berlanjutnya krisis ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia, maka prediksi tersebut agaknya perlu dikaji kembali. Namun variable-variabel krisis tersebut dapat diabaikan atau jangan terlalu dibuat sebagai suatu problematika bagi kebangkita Islam. Karena pada hakekatnya krisis tersebut terjadi karena sistem yang tidak harmonis antara manusia, kehidupan, dan lingkungannya.
Mengenai akan adanya kebangkitan/revivalisasi Islam ini, terdapat suatu pendapat yang sangat mencolok seperti yang dikemukakan oleh Sameul P. Hutington dalam sebuah buknya yang berjudul The Clash of Civilization and The Remaking of World Order mengatakan bahwa akan terjadi suatu benturan peradaban antara Islam dan Barat (baca: Amerika Serikat) setelah perseturuan dan perselisihan ideologi yang sebelumnya antara Barat, yang liberal kapitalis, dengan Komunis yang dianggap diktator otoritarian. Lanjutnya bahwa musuh kedua Barat setelah Komunis runtuh adalah Islam dan konfusianis (baca: Republik Rakyat Cina). Tesisnya mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat didasari oleh beberapa asusmsi dan konflik yang terjadi diataranya sebagai berikut: (1) Term la Guerra fria merupakan istilah yang digunakan oleh orang-oranag Spanyol abad XII untuk melukiskan hubungan yang tidak menyenangkan antara mereka dengan umat Islam Mediteranian, dan pada tahun 19990-an, sebagian orang melihatnya sebagai perang dingin perdaban yang kemudian kembali terulang antara Barat dengan Islam saat ini. Kemudian (2) Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya dua kali yaitu ketika Khilafah Turki Utsmani melemahkan kekuatan Byzantyum dan menaklukan sebagian wilayah Balkan serta Afrika Utara, serta mengepung Konsatatinopel pada tahun 1453, kemudian pada tahun 1529 menyerbu Wina; (3) bahwa 50% dari seluruh penyerangan yang terjadi di berbagai negara antara tahun 1820 sampai dengan 1929 merupakan perang agama antara Islam dan Kristen. Selanjutnya Hatington mengatakan (4) konflik, di satu pihak disebabkan adanya perbedaan konsep dasar Islam, terutama menyangkut pandangan hidup, mentransendensikan dan menyatukan antara agama dan politik versus konsep Kristen yang memisahkan Tuhan dengan Kasiar.
Selanjutnya (5) tingakatan konflik antara Islam dengan Kristen sesanantiasa dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, perubahan teknologi, dan intensitas komitmen keagamaan; (6) selama Islam tetap sebagai Islam, Barat tetap Barat, konflik fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datang sebagimana ia pernah terjadi empat belas abad yang lalu; (6) bahkan selama 15 tahun, antara tahun 1980-1995, menurut Departemen Keamanan AS, Amerika Serikat telah melakukan tujuh belas kali operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya diarahkan untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk operasi militer AS yang demikian itu terhadap peradaba-peradaban lain; dan (6) bagi Barat yang menjadi ganjalan utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan yang mereka yakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka.
Hal tersebut sudah cukup membuktikan bahwa Islam benar-benar akan kembali bersinar seperti sinar mentari yang menginspirasi semua kalangan umat manusia dan terbukti memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan. Dengan segala potensi yang ada, Indonesia adalah negara yang sangat mungkin memimpin kebangkitan Islam. The Golden Age akan kembali dari negara dengan muslim terbesar di dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Azra bahwa pengalaman Islam di Indonesia dalam [dua] dasawarsa terakhir membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam tidaklah mengalami kebangkrutan dalam proses modernisasi. Seperti yang diketahui, banyak ahli seperti Donal E. Smith, Robert Bellah atau pakar/pendeta Protestan semacam Harvey Cox berteori bahwa agama akan mengalami kebangkrutan dan tersingkir dalam kehidupan masyarakat yang semakin teknokratis dan impersonal tidak lagi memerlukan agama, dan bahkan harus disingkirkan karena dianggap menghalangi modernisasi.
Bahkan meskipun dengan penduduk dengan mayoritas beragama Islam, Indonesia adalah negara yang paling toleran di dunia. Pemerintah Indonesia juga sangat menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama, khususnya pemeluk agama minoritas. Karena itu salah besar jika ada tudingan bahwa agama Islam tidak menghargai perbedaan dan bersikap semena-mena terhadap penganut agama non-Islam. Sebagai contoh, bahwa pemerintah Indonesia selalu memberikan tanggal merah setiap perayaan hari raya agama non-Islam. Itu adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa toleransi antarumat beragama dijunjung tinggi di Indonesa.

Tahun 2042
Akan datang suatu masa, dimana generasi dan kejayaan Islam akan
 kembali hadir dalam setiap seratus tahun – (Hadits)

Mungkin banyak pihak yang meragukan hadits mengenai kebangkitan Islam tersebut atau bahkan menyatakan bahwa itu hanya sekedar opini semata. Tapi hemat penulis, meskipun ungkapan tersebut hanya sebuah opini paling tidak mampu membangkitkan kembali ghiroh islamiyah kita dalam menjemput kejayaan Islam tersebut. Sebagaimana firman Allah bahwa Allah tidak akan merubah suatu kaum sebelum kaum tersebut merubah diri mereka sendiri. Begitu pula dengan kita, umat Islam, yang tengah mengharapkan kebangkitan kembali peradaban Islam yang gemilang.
Dari tahun ke tahun penduduk dunia yang memeluk agama Islam semakin bertambah. Hal tersebut sudah menunjukkan kepada kita bahwa akan tiba masanya Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, seluruh umat manusia. Bahkan salah satu lembaga Kristen Internasional, World Christian Ancyclopedia pada tahun 1982 mengatakan bahwa sebagai hasil kenaikan jumlah penduduk yang luar biasa, jumlah pemeluk agama Islam terus mengalami kenaikan secara dramatis, dan mencapai sekitar 20% dari seluruh penduduk dunia pada peralihan abad ke-20, yang beberapa tahun kemudian, akan mencapai kurang lebih 30% dari seluruh penduduk dunia pada tahun 2025. Lantas kemudian, kapan tepatnya kejayaan Islam itu benar-benar bangkit?
Penulis berasumsi, berdasarkan hadits yang disebutkan di atas dimana akan ada regenerasi setiap seratus tahun. Berdasarkan beberapa pendapat ulama bahkan seratus tahun tersebut dihitung sejak keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942, maka secara hitung-hitungan matematis, tahun 2042 akan menjadi sebuah Golden Age bagi kebangkitan Islam di dunia. Namun bukan berarti sebelum tahun 2042 Islam tidak akan maju dan bangkit, justru tahun-tahun sebelum tahun tersebutlah dimulainya kejayaan Islam dengan berbagai bukti kebangkitannya di setiap negara di dunia termasuk di Indonesia.
Nampaknya euforia kebangkitan Islam akan terus berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya terutama di Indonesia dengan berbagai potensinya yang memungkinkan Islam bangkit dari negara ini. Hal ini bukanlah ramalan yang dengan kita menunggu tanpa mengupayakan sesutu akan terwujud, melainkan adalah sebuah takdir yang wajib dipenuhi oleh kita sebagai umat Islam yang percaya akan kebangkitan Islam di masa mendatang.




Naskah Esai Islami Tingkat Nasional
Juara III Lomba Esai Islami KIFS UNNES Tahun 2011
Ridwan Arifin (ridwanarifin89@ymail.com)